Chronic Kidney Disease
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Chronic Renal Failure (CRF) adalah istilah yang mencakup keseluruhan derajat penurunan fungsi ginjal mulai dari ringan, sedang, hingga gagal ginjal kronis. CKD merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia yang prevalensinya semakin meningkat dan biaya pengobatan yang tinggi. Secara umum, CKD lebih sering dijumpai pada populasi lanjut usia. Pasien yang berusia lebih dari 65 tahun dan mengalami CKD memiliki progresifitas penyakit yang lebih stabil dibandingkan dengan usia yang lebih muda (O’Hare et al., 2007). CKD sering dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler dan end-stage renal disease (ESRD).
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(KDOQI) menetapkan definisi dan klasifikasi CKD pada tahun 2002, yang
bermanfaat dalam menentukan terapi sesuai dengan derajat CKD serta memungkinkan
komunikasi yang lebih baik di antara dokter. Guideline tersebut mendefinisikan
CKD sebagai kerusakan struktural pada ginjal atau penurunan glomerular filtration rate (GFR) kurang dari 60 mL/menit/1,73 m2
dalam waktu paling sedikit 3 bulan. Apapun etiologi yang mendasarinya,
kerusakan nefron dan pengurangan massa fungsional ginjal mencapai titik
tertentu, nefron yang tersisa akan memulai proses sclerosis yang bersifat
ireversibel dan mengarah pada penurunan GFR yang progresif (Schnaper, 2014). Berdasarkan derajatnya
keparahannya, CKD dibagi menjadi:
- Derajat 1: kerusakan ginjal dengan GFR normal atau
meningkat (>90 mL/menit/1,73 m2).
- Derajat 2: penurunan GFR ringan (60-89 mL/menit/1,73
m2).
- Derajat 3a: penurunan GFR sedang (45-59 mL/menit/1,73
m2).
- Derajat 3b: penurunan GFR sedang (30-44 mL/menit/1,73
m2).
- Derajat 4: penurunan GFR berat (15-29 mL/menit/1,73
m2).
- Derajat 5: gagal ginjal (<15 mL/menit/1,73 m2).
Pengukuran
GFR mungkin tidak cukup untuk mengidentifikasi CKD stage 1 dan stage 2
dikarenakan pada pasien tersebut GFR masih terukur normal, sehingga diperlukan
pengukuran lain untuk menegakkan diagnosis (KDIGO, 2012), diantaranya:
- Albuminuria (peningkatan ekskresi albumin urin
> 30 mg/24 jam atau rasio albumin:kreatinin >30 mg/g [>3 mg/mmol])
- Abnormalitas sedimen urin
- Ketidakseimbangan elektrolit karena gangguan
pada tubulus ginjal
- Kelainan struktural ginjal yang dapat dideteksi
melalui pemeriksaan histologis maupun radiologis
- Riwayat transplantasi ginjal
Tekanan
darah tinggi merupakan hal yang umum terjadi pada penderita CKD, akan tetapi
hal ini juga dapat terjadi pada orang yang tidak mengalami CKD sehingga tidak
selalu menjadi marker dari CKD. Pada guideline terbaru, NKF (National Kidney Foundation) menyarankan
GFR dan derajat albuminuria tidak digunakan secara terpisah melainkan bersamaan
dalam diagnose CKD untuk meningkatkan akurasi prognosis dalam penilaian CKD.
Tanda dan Gejala
Pasien
dengan CKD derajat 1 – 3 biasanya tidak menunjukkan gejala. Pada umumnya,
terjadi gangguan endokrin/metabolik atau perubahan keseimbangan elektrolit
sebagai manifestasi CKD derajat 4 – 5 (GFR <30 mL/menit/1,73 m2).
Tanda asidosis metabolik pada CKD derajat 5 diantaranya malnutrisi energi
protein (MEP), penurunan berat badan, dan kelemahan otot. Tanda dari penurunan
kemampuan ginjal dalam meregulasi air dan garam pada CKD derajat 5 antara lain
edema perifer, edema pulmo, dan peningkatan tekanan darah.
Penderita CKD juga dapat mengalami anemia
yang disebabkan oleh factor seperti defisiensi eritropoietin akibat penurunan
massa ginjal, defisiensi nutrisi dan zat besi, dan peningkatan mediator
pro-inflamasi pada CKD dapat mempengaruhi eritropoiesis (Babitt & Lin,
2012). Anemia pada CKD sering dikaitkan dengan mudah lelah, penurunan aktivitas
fisik, dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler seperti gagal jantung.
Diagnosis
Skrining dilakukan untuk mendeteksi dan
memberikan terapi sedini mungkin. American
College of Physicians dalam guideline skrining CKD merekomendasikan untuk
tidak melakukan skrining pada pasien asimptomatik yang tidak memiliki faktor risiko
CKD serta tidak melakukan tes proteinuria pada pasien yang tidak memiliki
riwayat diabetes yang sedang dalam pengobatan angiotensin-converting enzyme (ACE Inhibitor) atau angiotensin II-receptor blocker (ARB),
akan tetapi rekomendasi tersebut masih lemah dan tidak didukung dengan bukti
ilmiah yang cukup kuat.
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan
untuk menunjang diagnosis berupa complete
blood count (CBC), elektrolik serum, urinalisis, albumin serum (dapat
ditemukan hipoalbuminemia akibat malnutrisi, ekskresi melalui urin, dan
inflamasi kronis), serta profil lipid dapat menunjukkan peningkatan risiko
penyakit kardiovaskuler. Gangguan pada tulang pasien dengan CKD dapat diperiksa
dengan mengukur kadar kalsium dan fosfat serum, 25-hydroxyvitamin D, alkaline
phospathase, serta kadar hormone parathyroid (PTH).
Pada
beberapa kasus tertentu, dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium berikut:
- Elektroforesis protein serum dan urin untuk skrining protein monoklonal yang dapat mengarahkan pada Multiple Myeloma
- Antinuclear antibody (ANA test) untuk skrining Systemic Lupus Erythematosus
- Kadar komplemen serum, hasilnya mungkin akan menurun pada glomerulonephritis
- Cytoplasmic dan Perinuclear Pattern Antineutrophil Cytoplasmic Antibody (C-ANCA dan P-ANCA), hasil yang positif dapat menunjukkan adanya granulomatosis dengan poliangitis (Wegener granulomatosis), P-ANCA juga dapat membantu diagnosis poliangitis mikroskopik
- Anti-Glomerular Basement Membrane (anti-GBM), peningkatan antibodi tersebut dapat menunjukkan Goodpasture Syndrome.
- Hepatitis B, hepatitis C, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan serologi Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) yang berhubungan degan glomerulonephritis.
Pencitraan radiologis dapat diagunakan
untuk diagnosis CKD. Ultrasonografi ginjal dapat digunakan untuk skrining
hidronefrosis yang mungkin tidak dapat diamati pada obstruksi awal dan pasien
dengan dehidrasi, serta pada keterlibatan organ retroperitoneal yang mengalami
fibrosis, tumor, adenopati difus, serta ukuran ginjal yang mengecil pada gagal
ginjal fase lanjut. Pielografi retrograde bermanfaat pada kasus dengan
kecurigaan tinggi obstruksi meskipun ultrasonografi ginjal negatif, serta untuk
mendiagnosis batu ginjal. CT-scan bermanfaat untuk diagnosis massa dan kista
pada ginjal serta paling sensitif untuk identifikasi batu ginjal. MRI berguna
pada pasien yang membutuhkan CT-scan tetapi tidak dapat menerima kontras
intravena, serta dapat digunakan untuk diagnosis thrombosis vena ginjal. Pemindaian
radionuklida ginjal bermanfaat untuk skrining stenosis arteri ginjal, serta
menghitung kontribusi ginjal terhadap GFR.
Biopsi ginjal diindikasikan apabila
gangguan ginjal dan/atau proteinuria mendekati nefrotik diagnosis tidak jelas
setelah pemeriksaan yang sesuai. Biopsi ginjal aman dilakukan tanpa memandang
usia dan laju filtrasi glomerulus serta bermanfaat dalam memulai terapi yang
tepat (Zaza et al., 2013). Pada
pasien dengan kerusakan ginjal parah (GFR <30 ml/menit/1,73 m2)
memungkinkan untuk dilakaukan diagnosis secara akurat melalui pemeriksaan
histologis.
Tatalaksana
Diagnosa dan penanganan awal dari penyebab
yang mendasari serta pencegahan sekunder sangat penting pada pasien CKD,
sehingga mungkin dapat memperlambat atau menghentikan perkembangan penyakit. Perawatan
medis pada pasien dengan CKD berfokus pada menunda atau memperlambat perkembangan
CKD, dan pengobatan kondisi yang mendasarinya jika diindikasikan. Tatalaksana
manifestasi patologis diperlukan pada pasien CKD. Anemia dengan kadar
hemoglobin <10 mg/dL, diindikasikan pemberian erythropoiesis stimulating agents (ESAs) seperti epoetin alfa dan
darbepoetin alfa setelah saturasi besi dan kadar feritin berada pada kadar yang
cukup. Pemberian pengikat fosfat serta diet rendah fosfat dilakukan pada pasien
dengan hiperfosfatemia. Hipokalsemia merupakan indikasi pemberian suplemen
kalsium atau kalsitriol. Kalsitriol atau analog vitamin D diindikasikan pada
pasien dengan hiperparatiroidisme, atau dapat diganti dengan calcimimetics agents. Pemberian diuretik
diindikasikan pada CKD dengan tanda-tanda kelebihan cairan. Pada asidosis
metabolik dapat diberikan suplementasi alkali seperti natrium bikarbonat.
Implantasi ginjal diindikasikan pada pasien
dengan asiddosis metabolik berat, hiperkalemia, perikarditis, ensefalopati,
malnutrisi, neuropati perifer, dan pada pasien asimptomatis dengan GFR 5-9
ml/menit/1,73 m2 tanpa melihat penyebab CKD dan komorbiditas lainnya
(Lameire & van Biesen, 2010).
Edit: 11 Sep 2019
Referensi:
Referensi:
- Babitt JL, Lin HY. Mechanisms of anemia in CKD. J Am Soc Nephrol. 2012;23:1631–1634.
- Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney Int Suppl. 2013. 3:1-150.
- Lameire N, Van Biesen W. The initiation of renal-replacement therapy--just-in-time delivery. N Engl J Med. 2010 Aug 12. 363(7):678-80.
- O'Hare AM, Choi AI, Bertenthal D, Bacchetti P, Garg AX, Kaufman JS, et al. Age affects outcomes in chronic kidney disease. J Am Soc Nephrol. 2007 Oct. 18(10):2758-65.
- Schnaper HW. Remnant nephron physiology and the progression of chronic kidney disease. Pediatr Nephrol. 2014 Feb. 29 (2):193-202.\
- Zaza G, Bernich P, Lupo A: Renal Biopsy in Chronic Kidney Disease: Lessons from a Large Italian Registry. Am J Nephrol 2013;37:255-255.
No comments
Tulis komentar Anda...