Header Ads

Header ADS

Diabetes Mellitus Tipe II

    Diabetes mellitus tipe II atau Non-Insulin Dependet Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar gula dalam darah melebihi nilai normal yang disebabkan karena resistensi insulin, sekresi insulin yang tidak adekuat, dan sekresi glukagon yang berlebihan (Kumar et al., 2005). Obesitas dan komponen  lemak visceral yang menonjol sering dikaitkan dengan resistensi insulin pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Resistensi insulin merupakan keadaan dimana tubuh tidak dapat menggunakan gula darah dengan baik karena terganggunya respon sel tubuh terhadap insulin. Resistensi insulin terjadi beberapa tahun sebelum penderita mengalami diabetes mellitus tipe 2. Secara fisiologis, tubuh dapat mengatasi resistensi insulin dengan meningkatkan produksi insulin sehingga tidak terjadi hiperglikemia. Penyakit diabetes mellitus tipe 2 merupakan kebalikan dari diabetes mellitus tipe 1, di mana terjadi kerusakan yang mutlak pada sel beta pada islet pankreas sehingga tidak dapat memproduksi insulin (Shoback et al., 2011). Pada beberapa negara maju, diabetes mellitus merupakan penyebab utama end stage renal disease (ESRD), amputasi ektremitas bawah, retinopati diabetikum, dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler (Kasper et al., 2015).


Etiologi

     Diabetes mellitus merupakan kombinasi antara faktor genetik dan gaya hidup (Ripsin et al., 2009). Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat dikendalikan misalnya diet dan kelebihan berat badan, tetapi hal-hal lain yang tidak dapat dikendalikan seperti pertambahan usia, jenis kelamin wanita, dan faktor genetik. Kurang tidur juga dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes mellitus tipe 2 (Touma, 2011). Hal ini diduga merupakan efek dari kurang tidur terhadap perubahan hormonal dan kemampuan metabolism glukosa. Status gizi maternal selama perkembangan janin dalam masa kehamilan juga berperan melalui suatu mekanisme yang masih merupakan dugaan yaitu perubahan metilasi DNA (Christian, 2010).

     Faktor gaya hidup yang berperan dalam menimbulkan penyakit diabetes mellitus tipe 2 diantaranya kegemukan yang ditentukan berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) yang lebih besar dari 30, kurangnya aktivitas fisik, asupan nutrisi yang tidakbaik, stress, dan urbanisasi. Pasien yang tidak mengalami kelebihan berat badan biasanya memiliki rasio lingkar pinggang-panggul yang besar (Shoback et al., 2011). Faktor diet juga mempengaruhi muculnya diabetes mellitus tipe 2. Konsumsi minuman yang mengandung pemanis gula berlebihan meningkatkan risiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2 (Malik, 2010). Tipe lemak dalam diet seperti lemak jenuh dan lemak trans juga berperan penting dalam peningkatan risiko, sebaliknya diet lemak tidak jenuh berbanding terbalik dengan risiko (Risérus et al., 2009). Kurangnya olahraga serta konsumsi nasi putih yang berlebih juga meningkatkan risiko diabetes mellitus tipe 2 (Lee, 2012).

     Diabetes melibatkan banyak gen yang masing-masing gen memiliki pengaruh yang kecil terhadap meningkatnya kemungkinan terjadi diabetes mellitus tipe 2. Hingga tahun 2011, telah dikethaui 36 gen yang memberikan pengaruh terhadap munculnya risiko diabetes mellitus tipe 2 (Harder, 2011). Gabungan gen tersebut akan memberikan kontribusi 10% terhadap seluruh komponen keturuna  penyakit diabetes mellitus tipe 2. Misalnya alel TCF7L2 meningkatkan risiko diabetes sebesr 1,5 kali lipat dan merupakan risiko terbesar varian genetik yang dijumpai. Sebagian besar yang berhubungan dengan diabetes mellitus terlibat dalam fungsi sel beta (Shoback et al., 2011). Beberapa kasus diabetes langka muncul karena abnormalitas satu gen saja, yang dikenal dengan diabetes monogenik atau jenis diabetes spesifik lainnya seperti Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY), sindrom Donohue, dan sindrom Rabson-Mendenhall. Berdasarkan data dari National Diabetes Information Clearinghouse (NIDC), MODY terjadi pada 1 – 5 % kasus diabetes di usia muda.


Tanda dan Gejala

     Gejala klasik diabetes antara lain polyuria (sering berkemih), polydipsia (sering haus), dan polyphagia (sering lapar). Gejala lain yang biasanya ditemukan pada saat diagnosis antara lain penglihatan kabur, penurunan berat badan, gatal-gatal, neuropati perifer, kesemutan pada anggota gerak, infeksi vagina berulang, balanitis, dan kelelahan. Namun, beberapa pasien tidak menunjukkan gejala pada tahun pertama dan baru terdiagnosa pada pemeriksaan rutin. Pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 jarang datang dengan keadaaan koma hiperosmolar nonketotik, yaitu kadar glukosa darah sangat tinggi yang berhubungan dengan penurunan kesadaran dan tekanan darah rendah (Shoback et al., 2011).


Diagnosis

Kriteria diagnosis berdasarkan American Diabetic Association (ADA) yaitu apabila pada pemeriksaan glukosa darah didapatkan hasil sebagai berikut:

  • Kadar gula darah puasa (GDP) 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
  • Kadar gula darah 2 jam post-prandial (G2PP) 200 mg/dL (11,1 mmol/L) setelah pemberian 75 gram OGTT (oral glucose tolerance test)
  • Kadar gula darah sewaktu (GDS) 200 mg/dL (11,1 mmol/L) pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemi
  • Kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) >6,5% merupakan kriteria diagnosis diabetes mellitus (ADA, 2010)

     American Diabetic Association pada tahun 2012 merekomendasikan skrining pada dewasa yang tidak memiliki gejala klasik diabetes, tetapi memiliki tekanan darah di atas 135/80 mmHg secara terus menerus, kelebihan berat badan atau faktor risiko diabetes (kerabat pertama dengan penderita diabetes, TD > 140/90 mmHg, HDL < 35 mg/dL, dan trigliserida > 250 mg/dL), serta usia lebih dari 45 tahun tanpa tanda-tanda tersebut.

     Toleransi glukosa diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan hasil pemeriksaan gula darah puasa. Gula darah puasa < 100 mg/dL (5,6 mmol/L) dikategorikan normal, gula darah puasa 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dikategorikan glukosa puasa terganggu (GPT), dan gula darah puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/dL) merupakan kategori diabetes mellitus.


Tatalaksana

     Tujuan dari tatalaksana diabetes mellitus adalah mengurangi risiko komplikasi mikrovaskuler (seperti mata dan ginjal) dengan mengontrol kadar glukosa darah dan tekanan darah, mengurangi risiko komplikasi makrovaskuler (misalnya stroke, penyakit jantung koroner, dan peripheral vascular disease) dengan cara mengontrol kadar lipid dalam darah dan mengendalikan hipertensi, serta mengurangi risiko komplikasi metabolik dan neurologis dengan cara menurunkan kadar gula dalam darah.

     Tatalaksana diabetes mellitus tipe 2 berfokus pada perubahan gaya hidup, mengurangi risiko komplikasi kardiovaskuler, dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Tatalaksana tersebut meliputi pengendalian hipertensi, kadar kolesterol dalam darah, dan mikroalbuminuria akan meningkatkan harapan hidup seseorang (Ripsin et al., 2009). Penurunan tekanan darah secara intensif (< 130/90 mmHg) dan bukan penurunan secara standar (140-160/80-100 mmHg) akan memberikan sedikit penurunan risiko stroke namun tidak mempengaruhi risiko kematian secara keseluruhan (McBrien, 2012).

     Tujuan terapi adalah kadar HbA1c kurang dari 7% atau kadar glukosa puasa kurang dari 120 mg/dL (6,7 mmol/L), namun target ini dapat berubah sesuai dengan pertimbangan risiko hipoglikemia (Vijan, 2010). Pasien diabetes mellitus tipe 2 direkomendasikan untuk menjalani pemeriksaan oftalmologi secara rutin.

     Olahraga dan perubahan pola makan merupakan dasar dari tatalaksana diabetes mellitus tipe 2, dengan jumlah olahraga yang lebih banyak memberikan hasil terapi yang lebih baik. Olahraga aerobik menurunkan HbA1c dan meningkatkan sensitivitas insulin. Kombinasi latihan tahanan dan olahraga aerobik juga mungkin memberikan hasil yang efektif (Zanuso et al., 2010). Diet indeks glikemik rendah terbukti dapat mengontrol kadar glukosa darah (Thomas & Elliot, 2009). Edukasi yang tepat dapat membantu penderita diabetes mellitus tipe 2 mengontorl kadar gula darah, setidaknya 6 bulan kedepan (Hawthorne et al., 2008). Apabila perubahan gaya hidup pada penderita diabetes ringan belum menunjukkan perbaikan kadar glukosa darah dalam enam minggu, perlu dipertimbangkan pemberian obat-obatan (Shoback et al., 2011).

     Terdapat beberapa kelas obat anti diabetes seperti sulfonilurea, glinid, biguanid, thiazolidindion, alpha glukosidase inhibitor, dan DPP-IV inhibitor. Metformin dari golongan biguanid pada umumnya direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena terdapat bukti bahwa obat tersebut dapat menurunkan angka mortalitas (Ripsin et al., 2009). Obat lini kedua dari kelas yang berbeda digunakan sebagai terapi tambahan apabila pemberian metformin belum cukup menurnkan kadar gluokosa darah (Qaseem, 2012). Metformin tidak dapat diberikan pada penderita dengan gangguan ginjal dan gangguan hati yang berat. Obat tersebut hanya dapat diberikan pada penderita dengan glomerular filtration rate (GFR) lebih dari 30 mL/menit/1,73 m2 (Duong et al., 2012). Pemberian injeksi insulin dapat merupakan terapi tambahan dari pengobatan oral atau pengobatan tersendiri.

     Pada umumya, sebagian besar pasein tidak membutuhkan insulin pada awal terapi. Apabila diperlukan, insulin kerja panjang biasanya diberikan pada malam hari, dengan pengobatan oral yang tetap dilanjutkan (Vijan, 2010). Apabila insulin yang diberikan pada malam hari tidak cukup, isnulin yang diberikan dua kali sehari dapat memberikan kontrol yang lebih baik. Long acting insulin seperti Gralrgine dan Detemir, tidak tampak jauh lebih baik daripada Neutral Protamine Hagedorn insulin (NPH) tetapi mempunyai biaya pembuatan yang lebih besar yang tidak hemat biaya (Waugh, 2010). Pada ibu hamil, insulin merupakan pilihan utama untuk terapi diabetes mellitus tipe 2. Meskipun demikian, obat antidiabetes oral seperti gliburide dan metformin semakin meningkat penggunaannya dan terbukti dapat menurunkan glukosa darah secara efektif, serta tidak terdapat bukti menyebabkan anomali kongenital pada janin, meskipun efek penggunaan jangka panjang masih menjadi perhatian (Moore et al., 2010).


Edit: 16 Sep 2019


Referensi:
  • American Diabetes Association (2010). "Diagnosis and classification of diabetes melitus". Diabetes Care. 33 Suppl 1 (supp 1): S62–9.
  • Christian, P (2010 Mar). "Maternal micronutrient deficiency, fetal development, and the risk of chronic disease". The Journal of nutrition140 (3): 437–45.
  • Duong JK, Roberts DM, Furlong TJ, Kumar SS, Greenfield JR, Kirkpatrick CM, et al. (2012). “Metformin therapy in patients with chronic kidney disease”Diabetes Obes Metab14:963–5.
  • Hawthorne, K, Robles, Y, Cannings-John, R, Edwards, AGK, Robles, Yolanda (2008). "Culturally appropriate health education for Type 2 diabetes mellitus in ethnic minority groups". Cochrane Database Syst Rev (3): CD006424.
  • Herder, C. (201). "Genetics of type 2 diabetes: pathophysiologic and clinical relevance". European journal of clinical investigation41 (6): 679–92.
  • Kasper, DL, Fauci, AS, Hauser, SL, Longo, DL, Jameson, JL, & Loscalzo, J. (2015). Harrison's principles of internal medicine (19th edition.). New York: McGraw Hill Education.
  • Kumar, V, Fausto, N, Abbas, AK, Cotran, RS, Robbins, SL. (2005). Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease (7th edition). Philadelphia, Pa.: Saunders: 1194–1195.
  • Lee, I (2012). "Effect of physical inactivity on major non-communicable diseases worldwide: an analysis of burden of disease and life expectancy". The Lancet.
  • Malik, VS (2010). Sugar Sweetened Beverages, Obesity, Type 2 Diabetes and Cardiovascular Disease risk". Circulation. 121 (11): 1356–64.
  • McBrien, K (2012). "Intensive and Standard Blood Pressure Targets in Patients With Type 2 Diabetes Melitus: Systematic Review and Meta-analysis". Archives of internal medicine: 1–8.
  • Moore LE, Clokey D, Rappaport VJ, et al (2010). “Metformin compared with glyburide in gestational diabetes: a randomized controlled trial”. Obstet Gynecol. 115(1):55-9.
  • Qaseem, A (2012). "Oral pharmacologic treatment of type 2 diabetes mellitus: a clinical practice guideline from the American College of Physicians". Annals of internal medicine156 (3): 218–31.
  • Ripsin CM, Kang H, Urban RJ (2009). "Management of blood glucose in type 2 diabetes melitus". Am Fam Physician79 (1): 29–36.
  • Risérus U, Willett WC, Hu FB (2009). "Dietary fats and prevention of type 2 diabetes". Progress in Lipid Research. 48 (1): 44–51.
  • Shoback, David G, Dolores (2011). Greenspan's basic & clinical endocrinology (9th edition). New York: McGraw-Hill Medical. Chapter 17.
  • Thomas D, Elliott EJ (2009). Thomas, Diana, ed. "Low glycaemic index, or low glycaemic load, diets for diabetes mellitus". Cochrane Database Syst Rev (1): CD006296.
  • Touma, C (2011). "Does lack of sleep cause diabetes?". Cleveland Clinic journal of medicine78 (8): 549–58.
  • Vijan, S (2010). "Type 2 diabetes". Annals of internal medicine152 (5): ITC31–15.
  • Waugh, N (2010). "Newer agents for blood glucose control in type 2 diabetes: systematic review and economic evaluation". Health technology assessment (Winchester, England)14 (36): 1–248.
  • Zanuso S, Jimenez A, Pugliese G, Corigliano G, Balducci S (2010). "Exercise for the management of type 2 diabetes: a review of the evidence". Acta Diabetol47 (1): 15–22.


No comments

Tulis komentar Anda...

Powered by Blogger.