Header Ads

Header ADS

Henti Jantung

Henti Jantung
     Henti jantung merupakan keadaan dimana tidak ada aktivitas mekanik yang efektif dari jantung, meskipun pada gambaran EKG terlihat adanya aktivitas elektrik jantung. Henti jantung terjadi ketika jantung berhenti memompa darah ke seluruh tubuh, yang menyebabkan terganggunya sirkulasi normal dari darah ke seluruh tubuh akibat kegagalan jantung berkontraski secara efektif (Kasper et al., 2015). Secara umum, henti jantung yang reversible dapat disebabkan oleh 10 penyebab yang disingkat menjadi 5 H dan 5 T, yaitu hipovolemia, hipoksia/hipoksemia, hydrogen ion (asidosis), hipokalemia, hiperkalemia, hipotermia, tension pneumothorax, tamponade cordis, toksin, thrombosis pulmoner, dan thrombosis koroner (Suryono et al., 2018).

     Henti jantung diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan gambaran EKG, yaitu shockable dan non-shockable. Hal ini sesuai dengan tatalaksana yang diberikan apakah dapat dilakukan defibrilasi atau dengan resusitasi jantung paru (Resuscitation Council UK, 2015). Irama yang shockable atau dapat dilakukan defibrilasi adalah Ventricular Fibrillation (VF) dan Ventricular Tachycardia tanpa nadi, sementara irama jantung yang tidak dapat dilakukan defibrilasi adalah Asystole dan Pulseless Electrical Activity (Soar et al., 2012).



DIAGNOSIS

     Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan nadi karotis yang tidak teraba. Perabaan arteri karotis untuk mendeteksi pulsasi merupakan baku emas untuk menegakkan diagnosis henti jantung. Akan tetapi rendah atau tidak adanya pulsasi (terutama pada arteri perifer) dapat disebabkan oleh kondisi lainnya, misalnya syok hipovolemik. Tanda-tanda lain dari henti jantung meliputi penurunan kesadaran dan napas abnormal atau tidak adanya pernapasan akibat hilangnya perfusi serebral (Field, 2009). Henti jantung biasanya tidak didahului dengan tanda-tanda pada 50% orang. Pada pasien yang mengalami tanda-tanda, biasanya bersifat non-spesifik, seperti nyeri dada, kelelahan, blackout, sesak napas, kelemahan, dan muntah (Mann et al., 2015). Pada beberapa kasus, henti jantung dapat didahului dengan epidose bradiakrdia yang berlangsung cepat menjadi sudden cardiac arrest.

     Sudden cardiac arrest (SCA) atau sudden cardiac death (SCD) terjadi ketika jantung tidak dapat berdenyut dengan ritme regular (aritmia). Tanpa adanya aktivitas elektrik yang terorganisir pada otot jantung, maka tidak akan terjadi kontraksi yang konsisten dari ventrikel, yang mengakibatkan jantung tidak dapat menghasilkan cardiac output yang adekuat. Terdapat beberapa macam aritmia, tetapi yang paling sering terekam pada EKG ketika terjadi henti jantung adalah ventricular tachycardia dan ventricular fibrillation (Zipes et al., 2006).


Henti jantung dapat diakibatkan karena penyebab cardiac maupun non-cardiac. Penyakit yang mendasari pada henti jantung akibat cardiac misalnya:


Coronary Artery Disease

     Coronary artery disease (CAD) atau penyakit jantung koroner, juga dikenal dengan nama ischemic heart disease, bertanggung jawab terhadap 62-70% dari henti jantung (Zheng et al., 2001). CAD lebih jarang menjadi penyebab henti jantung pada pasien dengan usia di bawah 40 tahun. Temuan paling umum dari hasil pemeriksaan post-mortem karena henti jantung adalah stenosis kronis pada minimal satu arteri utama jantung (Fuster et al., 2005).


Penyakit Jantung Struktural

     Penyakit janutng struktural yang tidak berkaitan dengan CAD (misalnya kardiomiopati hipertrofi, anomali arteri koroner kongenital, miokarditis) berperan terhadap sekitar 10% dari henti jantung. Contoh dari peyakit ini adalah kardiomoipati, aritmia jantung, miokarditis, hypertensive heart disease (HHD), dan congestive heart failure. Gagal jantung kongestif meningkatkan risiko henti jantung 5 kali lipat (Kannel et al., 1998). Left ventricular hypertrophy (LVH) diperkirakan menjadi penyebab utama henti jantung pada populasi dewasa (Stevens et al., 2013). Hal ini berkaitan dengan tekanan darah yang tinggi dalam jangka waktu lama dan meyebabkan kerusakan sekunder pada dinding ruang utama jantung untuk memompa darah, yaitu ventrikel kiri (Katholi & Couri, 2011). Review mengenai henti jantung pada tahun 1999 di Amerika Serikat menemukan bahwa hal ini berkontribusi sebesar 30% terhadap henti jantung pada populasi berusia di bawah 30 tahun. Penelitian tersebut juga dilakukan pada anggota militer berusia antara 18-35 tahun dan didapatkan hasil penyakit jantung struktural berkontribusi terhadap 40% henti jantung (Zheng et al., 2001).


Inherited Arrhythmia Syndrome

     Inherited arrhythmia syndrome atau sindrom aritmia keturunan yang tidak disebabkan karena kelainan struktural jantung berkontribusi 5 - 10% terhadap kasus henti jantung. Penyakit ini meliputi long QT syndrome (LQTS), Brugada syndrome (BrS), catecholaminergic polymorphic ventricular tachycardia (CPVT), short QT syndrome (SQTS), idiopathic ventricular fibrillation (IVF), dan progressive cardiac conduction system disease (PCCD), dimana struktur jantung biasanya normal dan tidak terdapat kelainan secara makroskopis (Priori et al., 2013). Hal ini sering diakibakan karena faktor genetik yang mengakibatkan irama jantung tidak normal. Mutasi genetik mempengaruhi protein spesifik pada kanal ion yang mengantarkan partikel bermuatan listrik melewati membrane sel, kondisi ini disebut channelopaties. Kondisi lain yang mengakibatkan gangguan irama jantung tetapi tidak disebabkan karena faktor genetik misalnya Wolff-Parkinson-White Syndrome (Olen et al., 2016).



PENCEGAHAN

     Beberapa strategi telah dilakukan untuk mencegah kejadian henti jantung. Dengan penyebab utama dari henti jantung karena ischemic heart disease, usaha untuk promosi diet sehat, olahraga, dan berhenti merokok dinilai penting untuk mencegah henti jantung. Pada pasien dengan risiko penyakit jantung, pengukuran tekanan darah, penurunan kolesterol, dan intervensi terapi medis diperlukan untuk modifikasi faktor risiko (Field, 2009). Review sistematis yang dilakukan oleh Chocrane pada tahun 2016 menemukan bahwa penggunaan obat penurunan tekanan darah tidak menurunkan akejadian henti jantung (Taverny et al., 2016).


Tim Gawat Darurat

     Henti jantung diistilahkan sebagai sebuah “kode”. Pada sebagian besar rumah sakit, kegawatdaruratan ini diistilahkan dengan “code blue”. Penurunan secara dramatis tanda-tanda vital dirujuk sebagai “coding” atau “crashing”, yang mana pada coding biasanya terjadi henti jantung sedangkan pada “crashing” tidak.

     Penurunan keadaan biasanya terjadi beberapa jam hingga hari sebelum terjadi henti jantung (Kause et al., 2004). Laju pernapasan merupakan prediktor mayor dari penurunan keadaan, dan dapat terjadi hingga 48 jam sebelum henti jantung. Penilaian tanda awal perlu dilakukan untuk menilai perkembangan dan menangani keadaan pasien, hal ini dapat dilakukan dengan membentuk tim penanganan kegawatdaruratan seperti,

- Tim “code” atau tim “crash”, yaitu tim yang bertugas melakukan resusitasi untuk menangani kegawatdaruratan di lingkungan rumah sakit, troli emergency disiapkan jika terjadi gawat darurat, serta defibrillator jika diperlukan

- Medical emergency team (MET), bertugas merespon semua keadaan gawat darurat, penatalaksanaan pasien pada fase akut dilakukan untuk mencegah terjadinya henti jantung. Tim ini dapat menurunkan tingkat henti jantung di rumah sakit dan meningkatkan harapan hidup (Kronick et al., 2015).


Implantable Cardioverter Defibrillator

     Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD) merupakan alat yang digunakan untuk memonitor aktivitas kelistrikan jantung dengan menggunakan tenaga baterai. Ketika aritmia atau asistol terdeteksi, ICD akan mengirimkan kejutan listrik untuk menormalkan kembali ritme jantung. ICD digunakan sebagai pencegahan sekunder henti jantung pada pasien yang sebelumnya ROSC (return of spontaneous circulation) akibat sudden cardiac arrest (SCA) yang disebabkan karena ventrikel fibrilasi atau ventrikel takikardi (Epstein et al., 2008). ICD juga memiliki fungsi prevensi primer yang digunakan sebagai profilaksis untuk mencegah henti jantung pada pasien dengan risiko tinggi (Shun-Shin et al., 2017).

     Beberapa studi telah dilakukan unutk melihat pengguaan ICD sebagai prevensi sekunder. Hasil studi menunjukan bahwa penggunaan ICD dapat meningkatkan harapan hidup dibandingkan dengan penggunaan obat anti aritmia. Terapi dengan ICD berkaitan dengan penurunan risiko relatif sebesar 50% pada kematian yang diakibatkan karena aritmia jantung, dan 25% penurunan risiko relatif pada semua penyebab kematian (Connoly et al., 2000).

     Prevensi primer henti jantung dengan terapi ICD pada populasi berisiko tinggi juga menunjukkan peningkatan harapan hidup. Populasi berisiko tinggi pada studi ini didefinisikan sebagai mereka yang memiliki kardiomiopati iskemik berat yang ditentukan berdasarkan penurunan left ventricular ejection farction (LVEF). Kriteria LVEF yang digunakan pada penelitian ini berkisar dari 30% pada MADIT-II atau 40% pada MUSTT (Shun-Shin et al., 2017).


Diet

     Omega-3 polyunsaturated fatty acids (PUFAs) yang berasal dari ikan laut dipromosikan sebagai pencegahan henti jantung karena kemampuannya menurunkan kadar trigliserida, mencegah aritmia, menurunkan agregasi platelet, dan menurunkan tekanan darah (Kaneshiro, 2011). Namun, review sistematis terbaru menyebutkan bahwa suplementasi omega-3 PUFA tidak berkaitan dengan penurunan risiko henti jantung (Rizos et al., 2012).



TATALAKSANA

     Henti jantung dapat ditangani dengan resusitasi. Penanganan ini biasanya didasarkan pada guideline basic life support (BLS), advanced cardiac life support (ACLS), pediatric advanced life support (PALS), dan neonatal resuscitation programs (NRP) pada kondisi gawat darurat (AHA Guideline, 2005).
Algoritma henti jantung pada dewasa


Cardiopulmonary Resuscitation

     Tatalaksana awal dengan cardiopulmonary resuscitation (CPR) sangat penting untuk meningkatkan harapan hidup pada pasien dengan fungsi neurologis yang baik, dan direkomendasikan untuk dimulai sesegera mungkin dari onset henti jantung dengan interupsi minimal. Komponen resusitasi jantung paru yang paling berperan dalam menentukan keberhasilan pada sebagian besar kasus adalah kompresi dada. Resusitasi yang dilakukan dengan benar oleh tenaga yang terlatih menunjukkan peningkatan harapan hidup. Jika resusitasi jantung paru dengan kualitas tinggi yang dilakukan tidak menghasilkan ROSC dan irama jantung asistole, resusitasi dapat dihentikan dan pasien dapat dinyatakan meninggal setelah dilakukan pijat jantung selama 20 menit, kecuali pada pasien dengan hipotermia atau tenggelam pijat jantung tetap dilanjutkan (Resuscitation Council, 2010).

Left Uterine Displacement
dengan (A) satu tangan
dan (B) dua tangan
     Big valve mask (BVM) atau tatalaksana jalan nafas lanjutan (seperti endotracheal tube atau laryngeal mask airway) dapat digunakan untuk membantu pernapasan. Pemberian oksigen dengan kadar tinggi biasanya dilakukan selam resusitasi jantung paru (Neumar et al., 2015). Penggunaan ET atau jalan napas supraglotis (seperti LMA) memiliki manfaat yang sama, tetapi tidak meningkatkan harapan hidup pada henti jantung (White et al., 2018). Reusitasi jantung paru yang dilakukan dengan 30 kali kompresi dilanjutkan dengan 2 kali napas menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kompresi yang terus menerus atau bantuan napas yang diberikan selama kompresi (Zhan et al., 2017).

     Kompresi mekanis dengan bantuan mesin tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan kompresi manual dengan tangan (Neumar et al., 2015). Tidak jelas apakah RJP yang dilakukan beberapa menit sebelum defibrilasi memberikan hasil yang berbeda dibandingkan defibrilasi langsung. Jika henti jantung terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu, penolong menggeser uterus ke arah kiri (left uterine displacement [LUD]) untuk memperbaiki sirkulasi aortocaval selama dilakukan RJP. Jika denyut nadi tidak didapatkan setelah 4 menit RJP, indikasi untuk segera dilakukan operasi sectio caesaria (Lavonas et al., 2015).


Defibrilasi

     Defibrilasi diindikasikan pada henti jantung dengan irama shockable. Irama jantung yang shockable yaitu ventricular fibrillation dan pulseless ventricular tachycardia (VT). Rekomendasi pada anak-anak adalah 2-4 J/kg (de Caen et al., 2015). Saat ini alat automated external defibrillator (AED) telah tersedia di berbagai area publik serta petugas yang terlatih yang berada di tempat tersebut. Hal ini memungkinkan defibrilasi untuk dilakukan sebelum tim emergensi tiba di tempat kejadian. Beberapa alat defibrillator memiliki umpan balik mengenai kualitas kompresi dada, sehingga memungkinkan penolong untuk memberikan kompresi yang lebih dalam agar sirkulasi darah tetap terjaga. Sementara itu, kejadian sudden cardiac arrest di remote area memiliki outcome yangt lebih buruk setelah terjadi henti jantung dibandingkan daerah urban karena keterbatasan peralatan medis dan tenaga yang terlatih (Lyon et al., 2004).

Tatalaksana pada henti jantung dengan irama shockable dan non-shockable


Medikasi

     Pada tahun 2016, pemberian obat-obatan selain adrenalin (epinefrin), yang terdapat di dalam guideline, tidak menunjukkan peningkatan harapan hidup pada henti jantung. Obat-obatan tersebut termasuk atropine, lidokain, dan amiodaron (Ali et al., 2018). Pada tahun 2019, epinefrin terbukti meningkatkan harapan hidup pada pasien dewasa, yang diberikan sesuai rekomendasi setiap 5 menit. Pemberian vasopressin tidak memperbaiki atau memperburuk outcome dibandingkan dengan adrenalin (Neumar et al., 2015). Kombinasi adrenalin, vasopressin, dan methylprednisolone dapat memperbaiki outcome (Belletti et al., 2018). Meskipun beberapa bukti tidak mendukung penggunaan adrenalin pada anak-anak, tetapi guideline menyebutkan bahwa adrenalin masih dapat diberikan. Lidokain dan amiodarone juga masih mungkin diberikan pada anak-anak yang mengalami henti jantung dengan irama shockable (de Caen et al., 2015). Penggunaan natrium bikarbonat dan kalsium secara umum pada dewasa dan anak-anak tidak direkomendasikan (Velissaris et al., 2016).

     Pada tahun 2010, AHA tidak lagi merekomendasikan penggunaan atripon pada pulseless electrical activity dan dan asistol (Neumar et al., 2010). Baik lidokain maupun amiodaron, pada ventricular tachycardia atau ventricular fibrillation yang persisten meskipun dengan defibrilasi, dapat meningkatkan harapan hidup dan memperbaiki outcome pada admisi rumah sakit (Sanfilippo et al. 2016).

     Trombolitik ketika digunakan secara umum dapat menyebabkan bahaya tetapi mungkin memberikan manfaat bagi mereka yang memiliki emboli paru yang dikonfirmasi sebagai penyebab henti jantung. Bukti penggunaan naloxone pada henti jantung karena intoksikasi opioid tidak jelas manfaatnya tetapi masih dapat digunakan. Pada henti jantung karena anestesi lokal, emulsi lipid dapat digunakan (Lavonas et al., 2015).
Pemberian obat-obatan pada henti jantung

Manejemen Suhu

     Menurunkan suhu pada pasien dewasa yang ROSC setelah henti jantung tetapi tidak ada peningkatan kesadaran dapat meningkatkan outcome (Schenone et al., 2016). Prosedur ini dinamakan targeted temperature management, yang sebelumnya dikenal dengan nama therapeutic hypothermia. Pendinginan biasanya dilakukan selama 24 jam, dengan suhu target antara 32-36 derajat Celcius (Neumar et al., 2015). Ada beberapa metode yang digunakan untuk menurunkan suhu tubuh, misalnya dengan kompres menggunakan es atau mengalirkan air dingin secara langsung ke tubuh, atau pemberian infus NaCl 0,9%. Prosedur ini dilanjutkan dengan penghangatan secara bertahap selama 12-24 jam berikutnya (Lundbye, 2012). Meta analisis terbaru menemukan bahwa targeted temperature management dapat meningkatkan harapan hidup dan memberikan outcome neurologis yang lebih baik (Schenone et al., 2016).


Do Not Resuscitate

     Do not resuscitate (DNR) merupakan arahan perawatan kesehatan tingkat lanjut untuk memperjelas bahwa dalam keadaan henti jantung, seseorang atau keluarga pasien tidak ingin menerima resusitasi jantung paru (Loertscher et al., 2010). Arahan lain mungkin dapat dibuat untuk menetapkan keinginan intubasi jika terjadi gagal napas, atau tindakan diberikan dengan mempertimbangkan kenyamanan, dengan menetapkan bahwa layanan kesehatan harus “memungkinkan kematian alami” dengan pendekatan yang lebih mengedepankan kemanusiaan (Knox & Vereb, 2005).



PROGNOSIS

     Tingkat harapan hidup secara keseluruhan pada henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit sebesar 10%. Dari keseluruhan henti jantung di luar rumah sakit, 70% terjadi di rumah dan memiliki tingkat harapan hidup sebesar 6% (Jollis & Granger, 2016). Pada kejadian henti jantung di rumah sakit, memiliki tingkat harapan hidup sebesar 24% dengan outcome neurologis yang baik (Kronick et al., 2015). Prognosis biasanya dinilai 72 jam atau lebih setelah terjadi henti jantung. Tingkat harapan hidup lebih baik pada henti jantung yang ditemukan dengan ventricular tachycardia atau ventricular fibrillation pada saat penilaian, dengan rentang berkisar antara 15 – 23% (Sassons et al., 2010).


Edit: 05 Okt 2019


Referensi
  • Ali, M.U., Fitzpatrick-Lewis, D., Kenny, M., Raina, P., Atkins, D.L., Soar, J., Nolan, J., Ristagno, G., Sherifali, D. 2018. Effectiveness of antiarrhythmic drugs for shockable cardiac arrest: A systematic review. Resuscitation132: 63–72.
  • American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation112 (24 Suppl): IV1–203. December 2005.
  • Belletti, A., Benedetto, U., Putzu, A., Martino, E.A., Biondi-Zoccai, G., Angelini, G.D., Zangrillo, A., Landoni, G. 2018. Vasopressors During Cardiopulmonary Resuscitation. A Network Meta-Analysis of Randomized Trials. Critical Care Medicine46 (5): e443–e451.
  • Connolly, S.J., Hallstrom, A.P., Cappato, R., Schron, E.B., Kuck, K.H., Zipes, D.P., Greene, H.L., Boczor, S., Domanski, M., Follmann, D., Gent, M., Roberts, R.S. 2000. Meta-analysis of the implantable cardioverter defibrillator secondary prevention trials. AVID, CASH and CIDS studies. Antiarrhythmics vs Implantable Defibrillator study. Cardiac Arrest Study Hamburg . Canadian Implantable Defibrillator Study. European Heart Journal21 (24): 2071–8.
  • de Caen, A.R., Berg, M.D., Chameides, L., Gooden, C.K., Hickey, R.W., Scott, H.F., Sutton, R.M., Tijssen, J.A., Topjian, A., van der Jagt, É.W., Schexnayder, S.M., Samson, R.A. 2015. Part 12: Pediatric Advanced Life Support: 2015 American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation132 (18 Suppl 2): S526–42.
  • Epstein, A.E., DiMarco, J.P., Ellenbogen, K.A., Estes, N.A., Freedman, R.A., Gettes, L.S., Gillinov, A.M., Gregoratos, G., Hammill, S.C., Hayes, D.L., Hlatky, M.A., Newby, L.K., Page, R.L., Schoenfeld, M.H., Silka, M.J., Stevenson, L.W., Sweeney, M.O., Smith, S.C., Jacobs, A.K., Adams, C.D., Anderson, J.L., Buller, C.E., Creager, M.A., Ettinger, S.M., Faxon, D.P., Halperin, J.L., Hiratzka, L.F., Hunt, S.A., Krumholz, H.M., Kushner, F.G., Lytle, B.W., Nishimura, R.A., Ornato, J.P., Page, R.L., Riegel, B., Tarkington, L.G., Yancy, C.W. 2008. ACC/AHA/HRS 2008 Guidelines for Device-Based Therapy of Cardiac Rhythm Abnormalities: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the ACC/AHA/NASPE 2002 Guideline Update for Implantation of Cardiac Pacemakers and Antiarrhythmia Devices): developed in collaboration with the American Association for Thoracic Surgery and Society of Thoracic Surgeons. Circulation117 (21): e350–408.
  • Field, J.M. 2009. The Textbook of Emergency Cardiovascular Care and CPR. Lippincott Williams & Wilkins. p. 11. ISBN 9780781788991.
  • Fuster, V., Topol, E.J., & Nabel, E.G. 2005. Atherothrombosis and Coronary Artery Disease. Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 9780781735834.
  • Jollis, J.G., Granger, C.B. 2016. Improving Care of Out-of-Hospital Cardiac Arrest: Next Steps. Circulation134 (25): 2040–2042.
  • Kaneshiro, N.K. 2011. Omega-3 fatty acids. MedlinePlus Medical Encyclopedia.
  • Kannel, W.B., Wilson, P.W., D'Agostino R.B., Cobb, J. 1998. Sudden coronary death in women. American Heart Journal136 (2): 205–12. 
  • Kasper, D.L., Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, J.L., & Loscalzo, J. 2015. Harrison's principles of internal medicine (19th edition.). New York: McGraw Hill Education.
  • Katholi, R.E. & Couri, D.M. 2011. Left ventricular hypertrophy: major risk factor in patients with hypertension: update and practical clinical applications. International Journal of Hypertension2011: 495349.
  • Kause, J., Smith, G., Prytherch, D., Parr, M., Flabouris, A., Hillman, K. 2004. A comparison of antecedents to cardiac arrests, deaths and emergency intensive care admissions in Australia and New Zealand, and the United Kingdom--the ACADEMIA study. Resuscitation62 (3): 275–82.
  • Knox, C. & Vereb, J.A. 2005. Allow natural death: a more humane approach to discussing end-of-life directives. Journal of Emergency Nursing31 (6): 560–1.
  • Kronick, S.L., Kurz, M.C., Lin, S., Edelson, D.P., Berg, R.A., Billi, J.E., Cabanas, J.G., Cone, D.C., Diercks, D.B., Foster, J.J., Meeks, R.A., Travers, A.H., Welsford, M. 2015. Part 4: Systems of Care and Continuous Quality Improvement: 2015 American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation132 (18): S397–413.
  • Lavonas, E.J., Drennan, I.R., Gabrielli, A., Heffner, A.C., Hoyte, C.O., Orkin, A.M., Sawyer, K.N., Donnino, M.W. 2015. Part 10: Special Circumstances of Resuscitation: 2015 American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation132 (18 Suppl 2): S501–18.
  • Loertscher, L., Reed, D.A., Bannon, M.P., Mueller, P.S. 2010. Cardiopulmonary resuscitation and do-not-resuscitate orders: a guide for clinicians. The American Journal of Medicine123 (1): 4–9.
  • Lundbye, J.B. 2012. Therapeutic hypothermia after cardiac arrest : clinical application and management. London: Springer.
  • Lyon, R.M., Cobbe, S.M., Bradley, J.M., Grubb, N.R. 2004.  Surviving out of hospital cardiac arrest at home: a postcode lottery?. Emergency Medicine Journal21 (5): 619–24.
  • Mann, D. L., Zipes, D. P., Libby, P., Bonow, R. O., & Braunwald, E. 2015. Braunwald's heart disease: A textbook of cardiovascular medicine (Tenth edition.). Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders.
  • Neumar, R.W., Otto, C.W., Link, M.S., Kronick, S.L., Shuster, M., Callaway, C.W., Kudenchuk, P.J., Ornato, J.P., McNally, B., Silvers, S.M., Passman, R.S., White, R.D., Hess, E.P., Tang, W., Davis, D., Sinz, E., Morrison, L.J. 2010. Part 8: adult advanced cardiovascular life support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation122 (18 Suppl 3): S729–67.
  • Neumar, R.W., Shuster, M., Callaway, C.W., Gent, L.M., Atkins, D.L., Bhanji, F., Brooks, S.C., de Caen, A.R., Donnino, M.W., Ferrer, J.M., Kleinman, M.E., Kronick, S.L., Lavonas, E.J., Link, M.S., Mancini, M.E., Morrison, L.J., O'Connor, R.E., Samson, R.A., Schexnayder, S.M., Singletary, E.M., Sinz, E.H., Travers, A.H., Wyckoff, M.H., Hazinski, M.F. 2015. Part 1: Executive Summary: 2015 American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation132 (18 Suppl 2): S315–67.
  • Olen, M.M., Baysa, S.J., Rossi, A., Kanter, R.J., Fishberger, S.B. 2016. Wolff-parkinson-white syndrome: a stepwise deterioration to sudden death. Circulation. 133: 105-106.
  • Priori, S.G., Wilde, A.A., Horie, M., Cho, Y., Behr, E.R., Berul, C., et al.. 2013.  HRS/EHRA/APHRS expert consensus statement on the diagnosis and management of patients with inherited primary arrhythmia syndromes: document endorsed by HRS, EHRA, and APHRS in May 2013 and by ACCF, AHA, PACES, and AEPC in June 2013. Heart Rhythm10:1932–1963.
  • Resuscitation Council (UK). 2010. Pre-hospital cardiac arrest. www.resus.org.uk. p. 41.
  • Resuscitation Council (UK). 2015.
  • Rizos, E.C., Ntzani, E.E., Bika, E., Kostapanos, M.S., Elisaf, M.S. 2012. Association between omega-3 fatty acid supplementation and risk of major cardiovascular disease events: a systematic review and meta-analysis. JAMA308 (10): 1024–33.
  • Sanfilippo, F., Corredor, C., Santonocito, C., Panarello, G., Arcadipane, A., Ristagno, G., Pellis, T. 2016. Amiodarone or lidocaine for cardiac arrest: A systematic review and meta-analysis. Resuscitation107: 31–7.
  • Sasson, C., Rogers, M.A., Dahl, J., Kellermann, A.L. 2010. Predictors of survival from out-of-hospital cardiac arrest: a systematic review and meta-analysis. Circulation: Cardiovascular Quality and Outcomes3 (1): 63–81.
  • Schenone, A.L., Cohen, A., Patarroyo, G., Harper, L., Wang, X., Shishehbor, M.H., Menon, V., Duggal, A. 2016. Therapeutic hypothermia after cardiac arrest: A systematic review/meta-analysis exploring the impact of expanded criteria and targeted temperature. Resuscitation108: 102–110.
  • Shun-Shin, M.J,. Zheng, S.L., Cole, G.D., Howard, J.P., Whinnett, Z.I., Francis, D.P. 2017. Implantable cardioverter defibrillators for primary prevention of death in left ventricular dysfunction with and without ischaemic heart disease: a meta-analysis of 8567 patients in the 11 trials. European Heart Journal38 (22): 1738–1746.
  • Soar, J., Perkins, G.D., & Nolan, J. 2012. ABC of resuscitation (6th edition.). Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell, pp. 43.
  • Stevens, S.M., Reinier, K., Chugh, S.S. 2013. Increased left ventricular mass as a predictor of sudden cardiac death: is it time to put it to the test?. Circulation: Arrhythmia and Electrophysiology6 (1): 212–7.
  • Suryono, B., Abubakar, M., Sarosa, P., Artika, I.G.N., Rahardjo, S., Uyun, Y., Untung, Sudadi, Widyastuti, Y., Sari, D., Jufan, A.Y., Mahmud, Kumala, R., Kurniawati, J., & Adiyanto, B. 2018. Acute Life Threatening Events Management: In Critically Ill Patient. Departemen Anestesi, Resusitasi dan Terapi Intensif FKKMK UGM, Yogyakarta.
  • Taverny, G., Mimouni, Y., LeDigarcher, A., Chevalier, P., Thijs, L., Wright, J.M., Gueyffier, F. 2016. Antihypertensive pharmacotherapy for prevention of sudden cardiac death in hypertensive individuals. The Cochrane Database of Systematic Reviews. 3: CD011745.
  • Velissaris, D., Karamouzos, V., Pierrakos, C., Koniari, I., Apostolopoulou, C., Karanikolas, M. 2016. Use of Sodium Bicarbonate in Cardiac Arrest: Current Guidelines and Literature Review. Journal of Clinical Medicine Research8 (4): 277–83.
  • White, L., Melhuish, T., Holyoak, R., Ryan, T., Kempton, H., Vlok, R. 2018. Advanced airway management in out of hospital cardiac arrest: A systematic review and meta-analysis. The American Journal of Emergency Medicine36 (12): 2298–2306.
  • Zhan, L., Yang, L.J., Huang, Y., He, Q., Liu, G.J. 2017. Continuous chest compression versus interrupted chest compression for cardiopulmonary resuscitation of non-asphyxial out-of-hospital cardiac arrest. The Cochrane Database of Systematic Reviews3: CD010134.
  • Zheng, Z.J., Croft, J.B., Giles, W.H., Mensah, G.A. 2001. Sudden cardiac death in the United States, 1989 to 1998. Circulation104 (18): 2158–63.
  • Zipes, D.P., Camm, A.J., Borggrefe, M., Buxton, A.E., Chaitman, B., Fromer, M., Gregoratos, G., Klein, G., Moss, A.J., Myerburg, R.J., Priori, S.G., Quinones, M.A., Roden, D.M., Silka, M.J., Tracy, C., Smith, S.C., Jacobs, A.K., Adams, C.D., Antman, E.M., Anderson, J.L., Hunt, S.A., Halperin, J.L., Nishimura, R., Ornato, J.P., Page, R.L., Riegel, B., Blanc, J.J., Budaj, A., Dean, V., Deckers, J.W., Despres, C., Dickstein, K., Lekakis, J., McGregor, K., Metra, M., Morais, J., Osterspey, A., Tamargo, J.L., Zamorano, J.L. 2006. ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for Management of Patients With Ventricular Arrhythmias and the Prevention of Sudden Cardiac Death: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force and the European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines (writing committee to develop Guidelines for Management of Patients With Ventricular Arrhythmias and the Prevention of Sudden Cardiac Death): developed in collaboration with the European Heart Rhythm Association and the Heart Rhythm Society. Circulation114 (10): e385–484.

No comments

Tulis komentar Anda...

Powered by Blogger.