Derajat dan Tatalaksana pada Luka Bakar
![]() |
| Luka Bakar |
Luka bakar adalah cedera pada kulit yang
disebabkan oleh panas, dingin, arus listrik, zat kimia, gesekan, atau radiasi
(Herndon, 2012). Sebagian besar luka bakar disebabkan karena cairan panas,
benda padat degan temperature tinggi, atau api. Pada perempuan, risiko luka
bakar disebabkan karena penggunaan alat masak yang tidak aman, sedangkan pada
laki-laki disebabkan karena lingkungan kerja (WHO, 2016).
Secara umum, luka bakar diklasifikasikan
dari derajat 1 hingga derajat 4, tetapi American Burn Association (ASA)
mengklasifikasikan luka bakar menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan
kedalaman dan ukuran luka bakar (Phillip & Dennis, 2014). Luka bakar yang
mengenai lapisan kulit superfisial disebut sebagai luka bakra superfisial atau
luka bakar derajat 1 (Tintinalli, 2010). Lesi tampak merah tanpa vesikel dan
nyeri yang berlangsung selama 3 hari. Ketika luka mengenai lapisan kulit yang
lebih dalam, maka diklasifikasikan menjadi luka bakar derajat 2. Lesi disertai
vesikel dan terasa sangat nyeri. Proses peneymbuhan dapat mmerlukan waktu
hingga 8 minggu dan dapat terbentuk jaringan parut. Pada luka bakar derajat 3,
kerusakan jaringan meliputi seluruh lapisan kulit. Biasanya tidak terasa nyeri
dan bagian kulit yang mengalami luka terasa kaku. Proses penyembuhan biasanya
tidak dapat terjadi secara alamiah dan membutuhkan penanganan lebih lanjut.
Luka bakar derajat 4 meliputi jaringan yang lebih dalam seperti tendon, otot,
atau tulang. Lesi berwarna kehitaman dan menyebabkan lepasnya jaringan (Ferri,
2012).
Penanganan luka bakar berbeda-beda sesuai
dengan kedalaman luka. Luka bakar derajat 1 dapat ditangani dengan pemberian
antinyeri, sementara luka bakar yang dalam membutuhkan penanganan yang lebih
lama dan dapat dilakukan di pusat penanganan trauma (Tintinalli, 2010).
Pendinginan dengan air mengalir dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan
jaringan yang lebih luas, tetapi dalam jangka waktu lama dapat menurunkan suhu
tubuh hingga menyebabkan hipotermia sesuai derajat dan luas luka (Granger,
2009). Luka bakar derajat 2 memerlukan penanganan dengan air dan sabun,
kemudian ditutup dengan kassa steril. Bullae atau kulit yang melepuh tetap
dibiarkan intak untuk mencegah infeksi dengan mempertahankan kontinuitas
jaringan kulit (Shaw & Dibble, 2006). Luka bakar derajat 3 membutuhkan
penanganan bedah, seperti skin graft.
Luka bakar yang luas membutuhkan cairan intravena dalam jumlah banyak,
disebabkan karena kebocoran cairan pada kapiler dan pembengkakan jaringan
(Granger, 2009). Komplikasi paling umum dari luka bakar adalah infeksi
(Herndon, 2012). Tetanus anti-toxin (Tetanus Immunoglobulin) diberikan sesuai
indikasi seperti pada tabel di bawah ini. Tetagam sebaiknya tidak diberikan
secara IV karena risiko syok anafilaktik (Immunization Guide for Ireland,
2008).
Usia
|
Status
Imunisasi
|
Luka
Bersih
|
Luka
Kotor
|
<4 tahun
|
<3 dosis atau
tidak diketahui
|
vaksin 6 in 1
(Difteri, hepatitis B, Hib, pertussis, polio, dan tetanus)
|
TIG + vaksin 6 in 1
|
>4 tahun – 9 tahun
|
<3 dosis atau
tidak diketahui
|
vaksin 6 in 1, atau
vaksin 4 in 1
|
TIG + vaksin 6 in 1
atau vaksin 4 in 1
|
Hanya 3 dosis, ≥5
tahun sejak dosis terakhir
|
vaksin 4 in 1
|
vaksin 4 in 1
*pertimbangkan TIG
|
|
≥3
dosis, <5 tahun sejak tetanus toxoid (TT) terakhir
|
Nil.
|
vaksin 4 in 1
*pertimbangkan TIG
|
|
≥4
dosis, >5 tahun sejak tetanus toxoid (TT) terakhir
|
Nil.
|
*pertimbangkan TIG
|
|
>10 tahun
|
<3 dosis atau
tidak diketahui
|
Td, Tdap, atau
Tdasp/IPV
|
TIG + Td, Tdap, atau
Tdap/IPV
|
≥3 dosis
selama >10 tahun sejak dosis terakhir
|
Td atau Tdap
|
Td atau Tdap
*pertimbangkan TIG
|
|
≥3 dosis
selama <10 tahun sejak dosis terakhir
|
Nil.
|
*pertimbangkan TIG
|
|
Keterangan:
TIG : Tetanus Immunoglobulin
DTap/IPV/Hib : Diphtheria, Tetanus and acellular Pertussis
vaccine/Inactivated Polio Virus vaccine/ Haemophilius influenzae b vaccine
DTaP/IPV =
Diphtheria, Tetanus and acellular Pertussis vaccine/Inactivated Polio Virus
vaccine
Td/IPV =
Tetanus, low-dose diphtheria/ Inactivated Polio Virus vaccine
Tdap =
Tetanus, low-dose diphtheria and low-dose acellular pertussis vaccine
|
|||
Dosis
profilaksis TIG pada dewasa adalah 250 IU secara IM, atau 500 IU secara IM jika
pemberian dilakukan >24 jam setelah terjadinya luka atau berat badan >90
kg, atau luka dengan kontaminasi yang berat, atau pada luka bakar dan luka pada
fraktur terbuka. Dosis terapetik jika diagnosis tetanus telah ditegakkan adalah
150 IU/kgBB secara IM diberikan pada beberapa lokasi, jika volume besar (> 2
ml pada anak-anak) direkomendasikan untuk diberikan pada lokasi yang berbeda
(BNF for Children, 2008).
TANDA DAN GEJALA
Karakteristik luka bakar ditentukan dari
kedalaman luka. Luka bakar derajat 1 atau superfisial menyebabkan nyeri yang
berlangsung selama kurang lebih 3 hari, diikuti pengelupasan kulit pada bagian
yang mengalami luka bakar beberapa hari setelahnya. Pada luka bakar yang lebih
berat, bagian yang mengalami luka akan terasa seperti tertekan, sedangkan nyeri
tidak terlalu dirasakan. Pada luka bakar derajat 3, kulit menjadi tidak
sensitif terhadap rangsang sentuhan ringan atau tusukan jarum (Herndon, 2012).
Luka bakar superfisial biasanya berwarna kemerahan, sedangkan luka bakar yang
lebih dalam dapat berwarna merah muda, putih, atau kehitaman. Luka bakar di
sekitar mulut atau bulu hidung yang terbakar dapat mengindikasikan adanya
trauma inhalasi atau luka bakar pada saluran pernapasan, akan tetapi temuan ini
tidak definitif. Beberapa tanda yang menjadi perhatian antara lain sesak napas atau napas pendek, suara serak, stridor, atau wheezing
(Brunicardi, 2010). Rasa gatal merupakan hal yang umu terjadi selama proses
penyembuhan, mati rasa dan kesemutan dapat terjadi dalam jangka beberapa waktu
setelah terkena arus listrik (Marx, 2010).
Berdasarkan
derajat kedalamannya, luka bakar dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis
seperti pada tabel di bawah ini.
Tipe
|
Lapisan
Kulit
|
Tampakan
|
Sensasi
|
Waktu
Penyembuhan
|
Prognosis
|
Superfisial
(luka bakar derajat
I)
|
Epidermis
|
Merah tanpa adanya
vesikel
|
Nyeri
|
5 – 10 hari
|
Sembuh dengan baik,
paparan sinar matahari yang berulang dapat meningkatkan risiko kanker kulit
(Buttaro, 2012)
|
Superfisial sebagian
(derajat II)
|
Meluas ke lapisan
dermis superfisial (papiler)
|
Kemerahan disertai
kulit melepuh, pucat dengan penekanan
|
Sangat nyeri
|
2 – 3 minggu
|
Infeksi lokal tetapi
biasanya tidak disertai selulitis
|
Dalam sebagian
(derajat II)
|
Meluas ke lapisan
dermis dalam (retikuler)
|
Kuning atau putih,
lebih tidak pucat, dapat melepuh
|
Rasa tertekan pada
kulit dan tidak nyaman
|
3 – 8 minggu
|
Jaringan parut,
kontraktur (mungkin memerlukan eksisi dan skin
graft)
|
Seluruh lapisan
(derajat III)
|
Meluas ke seluruh
lapisan dermis
|
Kaku dan putih atau
coklat, tidak pucat
|
Tidak nyeri
|
Lama (beberapa
bulan) dan tidak sempurna
|
Jaringan parut,
kontraktur, dan amputasi (dianjurkan eksisi dini)
|
Derajat IV
|
Meluas ke seluruh
lapisan kulit, lapisan lemak, otot, dan tulang di bawahnya
|
Hitam, hangus dengan
eskar
|
Tidak nyeri
|
Perlu eksisi
|
Amputasi, gangguan
fungsional yang signifikan, dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
kematian
|
Luka bakar disebabkan karena faktor
eksternal yang dapat diklasifikasikan menjadi suhu (berkaitan dengan panas),
kimia, elektrik, dan radiasi (Kowalski et
al., 2008). Di Amerika Serikat, penyebab paling umum dari luka bakar antara
lain kebakaran atau api, air panas, benda panas, arus listrik, dan zat kimia.
Sebagian besar luka bakar terjadi di rumah atau di tempat kerja, dan pada
umumnya terjadi secara tidak disengaja, dan 1-2% kasus terjadi karena percobaan
bunuh diri (Peck, 2011). Penyebab luka bakar tersebut dapat mengakibatkan
trauma inhalasi pada saluran napas atau paru-paru, terjadi pada sekitar 6%
kasus. Luka bakar yang disebabkan karena api atau kebakaran di negara
berkembang dikaitkan dengan metode memasak menggunakan api terbuka atau di atas
lantai (Herndon, 2012).
Suhu
Api dan cairan panas merupakan penyebab
paling umum dari luka bakar. Merokok menyebabkan sekitar 25% kasus dan alat
pemanas berkontribusi terhadap sekitar 22% kasus luka bakar. Hampir sebagian
besar dari kejadian disebkan karena usaha untuk memadamkan api (Herndon, 2012).
Kulit melepuh disebabkan karena cairan atau gas panas dan pada umumnya
diakibatkan karena minuman panas, air kran dengan suhu tinggi, minyak, atau uap
panas (Eisen & Murphy, 2009). Kulit melepuh akibat cairan panas sering
terjadi pada anak usia di bawah lima tahun, sementara kontak langsung dengan
benda panas menyebabkan sekitar 20-30% kasus luka bakar pada anak-anak. Secara
umum scalds atau kulit melepuh
merupakan luka bakar derajat I atau derajat II, tetapi dapat juga menyebabkan
luka bakar derajat III jika terjadi kontak yang lebih lama (Maguire et al., 2008).
Zat Kimia
Luka bakar akibat zat kimia berkontribusi
terhadap sekitar 30% kematian. Hal ini dapat disebabkan oelh lebih dari 25.000
ejnis zat kimia, yang sebagian besar berupa basa kuiat (55%) dan sebagiannya
lagi berupa asam kuat (26%) (Hardwicke et
al., 2012). Kematian akibat luka bakar sebagain besar terjadi karena trauma
inhalasi, zat kimia yang sering dijumpai sebagai penyebab luka bakar adalah
asam sulfat pada pembersih toilet, sodium hipoklorit yang digunakan sebagai
pemutih lantai dan pakaian, serta hidrokarbon halogenasi yang digunakan sebagai
penghilang cat. Asam hidroklorat menyebabkan luka bakar dalam yang dapat
asimptomatik hingga beberapa waktu setelah paparan (Makarovsky, 2008). Asam
format dapat menyebabkan perombakan atau sel darah merah dalam jumlah yang
signifikan (Brunicardi, 2010).
Arus Listrik
Trauma elektrik disebabkan karena arus
listrik yang diklasifikasikan menjadi tegangan tinggi (lebih dari 1000 volt),
tegangan rendah (kurang dari 1000 volt), atau luka bakar akibat petir
(Tintinalli, 2012). Pada anak-anak, trauma elektrik paling sering disebabkan
karena kabel yang bermuatan listrik (60%), kemudian diikuti oleh saklar listrik
(14%). Petir dapat menyebabkan trauma elektrik dimana risikonya meningkat
dengan aktivitas di luar ruangan seperti mendaki gunung, golf dan olahraga di
lapangan, atau berjalan-jalan di luar ruangan. Sekitar 10% kasus tersambar
petir mengakibatkan kematian (Marx, 2010).
Selain
menyebabkan luka bakar, trauma elektrik juga dapat menyebabkan fraktur dan
dislokasi akibat trauma tumpul atau kontraksi otot yang berlebihan. Pada trauma
elektrik akibat arus listrik bertegangan tinggi, sebagian besar kerusakan
terjadi di dalam tubuh dan tidak dapat diamati melalui pemeriksaan fisik dengan
inspeksi kulit. Kontak dengan arus listrik bertegangan rendah dan tinggi dapat
menyebabkan aritmia jantung atau sudden
cardiac arrest (Marx, 2010).
Radiasi
Luka bakar akibat radiasi dapat disebabkan
karena paparan sinar ultraviolet dalam jangaka waktu yang cukup lama (misalnya
sinar matahari, alat tanning, dan alat las) atau radiasi pengion (misalnya
terapi radiasi, sinar X-ray, dan zat radioaktif) (Prahlow, 2010). Paparan sinar
matahari merupakan penyebab paling sering luka bakar karena radiasi dan luka
bakar superfisial secara keseluruhan (Kearns et al., 2013). Efek dari radiasi pengion tergantung pada jumlah
atau besarnya radiasi yang diserap oleh kulit dengan kerontokan rambut terlihat
pada 3 Gy, kemerahan pada radiasi 10 Gy, kulit mengelupas pada radiasi 20 Gy,
dan nekrosis jaringan pada radiasi 30 Gy (Marx, 2010). Kemerahan bisa jadi
tidak muncul hingga paparan dalam jangka waktu tertentu. Luka bakar akibat
radiasi diberikan tatalaksana seperti luka bakar pada umumnya. Luka bakar
akibat gelombang mikro diakibatkan karena pemanasan oleh microwave, meskipun dengan paparan hanya dalam hitungan detik (Krieger,
2010).
PATOFISIOLOGI
Pada suhu lebih dari 44 oC (111
oF), protein mengalami denaturasi dan kehilangan struktur 3
dimensinya. Hal ini menyebabkan kematian sel dan kerusakan jaringan. Efek
langsung yang diakibatkan karena luka bakar adalah gangguan sekunder fungsi
kulit, seperti hilangnya sensiblitas, kemampuan mengurangi penguapan, dan
kemampuan mengatur suhu tubuh. Kerusakan pada membrane sel meenyebabkan sel
kehilangan Kalium ke luar lingkungan sel serta masuknya air dan ion Natrium
(Tintinalli, 2010).
Pada luka bakar yang luas >30% terjadi
respon inflamasi yang signifikan. Hal ini menyebabkan kehilangan cairan yang
lebih banyak melalui pembuluh kapiler dan jaringan yang mengalami kerusakan.
Hal ini juga menyebabkan kehilangan volume darah, disertai dengan berkurangnya
plasma pada darah, sehingga menyebabkan darih semakin terkonsentrasi. Aliran
darah yang rendah ke organ-organ vital seperti ginjal dan traktus
gastrointestinal dapat menyebabkan gagal ginjal dan ulkus pada saluran
gastrointestinal (Hannon, 2010). Peningkatan katekolamin (adrenalin, noradrenalin,
dan dopamine) serta dapat menimbulkan kondisi hipermetabolisme yang berkaitan
dengan peningkatan curah jantung, metabolisme, denyut jantung, dan
immunosupresi (Rojas et al., 2012).
DIAGNOSIS
Luka
bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman, mekanisme, perluasan, dan
cedera lain yang berkaitan. Klasifikasi yang paling sering digunakan adalah
berdasarkan kedalaman luka bakar. Kedalaman luka biasanya ditentukan dari
pengamatan, meskipun tidak menutup kemungkinan biposi jaringan juga dapat
dilakukan (Tintinalli, 2010). Kesulitan dalam menentukan derajat kedalaman luka
dapat dialami jika pengamatan hanya dilakukan sekali, sehingga dapat dilakukan
pengamatan ulang beberapa hari kemudian. Jika terdapat keluhan nyeri kepala
atau pusing setelah mengalami luka bakar, maka kemungkinan keracunan karbon monoksida
dapat dipertimbangkan (Mahadevan & Garmel, 2012). Selain itu kemungkinan
mengalami keracunan sianida juga dapat dipertimbangkan (Brunicardi, 2010).
![]() |
| Rule of Nine untuk menentukan luas luka bakar |
Luas
Luas luka bakar dihitung menggunakan
persentase total body surface area (TBSA)
yang mengalami luka bakar parsial atau total. Luka bakar derajat satu yang
hanya berwarna kemerahan dan tidak melepuh tidak dimasukkan dalam penentuan
luas luka bakar (Tintinalli, 2010). Terdapat berbagai metode untuk menentukan
TBSA, seperti Wallace rule of nines, Lund and Browder chart, dan perkiraan
berdasarkan luas telapak tangan korban. Rule
of nine mudah untuk diingat akan tetapi hanya akurat pada pasien berusia
lebih dari 16 tahun. Penentuan yang lebih akurat menggunakan Lund and Browder chart yang menghitung
perbedaan proporsi tubuh pada dewasa dan anak-anak (Granger, 2009).
Keparahan
Untuk menentukan perlu atau tidaknya
rujukan ke fasilitas khusus luka bakar, American
Burn Association membuat klasifikasi yang membagi luka bakar menjadi minor,
moderate, dan mayor. Tingkat keparahan luka bakar dinilai berdasarkan berbagai
faktor seperti TBSA, area anatomis tertentu, usia, dan cedera yang berkaitan.
Luka bakar minor dapat diberikan tatalaksana di rumah, luka bakar moderate
biasanya ditangani di rumah sakit, dan luka bakar mayor harus dirujuk ke pusat
penanganan luka bakar (Mahadevan & Garmel, 2012).
Klasifikasi tingkat
keparahan luka bakar berdasarkan American
Burn Association
Minor
|
Moderate
|
Mayor
|
Dewasa <10% TBSA
|
Dewasa 10 – 20% TBSA
|
Dewasa >20% TBSA
|
Anak – anak atau lansia <5% TBSA
|
Anak – anak atau lansia 5 – 10% TBSA
|
Anak – anak atau lansia >10% TBSA
|
<2% luka bakar derajat III
|
2 – 5% luka bakar derajat III
|
>5% lua bakar derajat III
|
Trauma voltase tinggi
|
Luka bakar voltase tinggi
|
|
Curiga trauma inhalasi
|
Terbukti trauma inhalasi
|
|
Luka bakar sirkumferensial
|
Luka bakar pada wajah, sendi, tangan,
atau kaki yang signifikan
|
|
Kondisi medis lainnya
|
Cedera lain yang berkaitan
|
TATALAKSANA
Penanganan diawali dengan menilai kondisi
pasien dan stabilisasi airway, breathing, dan circulation. Jika terdapat tanda trauma inhalasi, dapat dilakukan
intubasi dengan segera (Brunicardi, 2010). Hal ini dilanjutkan dengan
penanganan luka bakar itu sendiri. Pada pasien dengan luka bakar yang ekstensif
dapat dilakukan pembalutan dengan kassa steril sampai tiba di rumah sakit. Oleh
karena luka bakar rawan terhadap infeksi, maka dapat dilakukan pemberian
booster tetanus pada individu yang tidak mendapatkan imunisasi dalam waktu 5
tahun terakhir (Klingesmith, 2007). Menurut darta epidemiologis, sebanyak 95%
luka bakar di Amerika Serikat yang tiba di Instalasi Gawat Darurat diberikan
tatalaksana dan rawat jalan, sedangkan sebanyak 5% membutuhkan admisi di rumah
sakit (Peck, 2011). Pada luka bakar mayor, pemberian asupan makanan merupakan
hal yang penting. Asupan protein harus ditingkatkan, serta suplemenetasi
vitamin dan mineral dapat diberikan (Rousseau et al., 2013).
Rehidrasi Intravena
Pada perfusi jaringan yang buruk, larutan
kristaloid isotonik dapat diberikan secara bolus. Pada anak- anak dengan luka
bakar lebih dari 10 – 20% TBSA, dan dewasa dengan luka bakar lebih dari 15%
TBSA, resusitasi dengan kristaloid dan dilanjutkan dengan monitoring tanda-tanda
vital (Granger, 2009). Resusitasi perlu diberikan sebelum pasien tiba di rumah
sakit jika memungkinkan pada luka bakar dengan luas lebih dari 25% TBSA (Enoch et al., 2009). Formula Parkland dapat digunakan untuk
menentukan kebutuhan resusitasi cairan pada 24 jam pertama. Formula tersebut
didasarkan pada TBSA dan berat badan pasien. Setengah dari jumlah cairan yang
dibutuhkan diberikan dalam 8 jam pertama, setengah cairan dilanjutkan dalam 16
jam berikutnya. Waktu pemberian dihitung pada saat terjadinya luka bakar, dan
tidak dihitung dari awal dilakukannya resusitasi. Anak-anak membutuhkan cairan
rumatan tambahan yang mengandung glukosa. Cairan yang lebih banyak dibutuhkan
pada trauma inhalasi (Jeschke, 2012). Resusitasi yang tidak adekuat atau berlebihan
dapat berakibat fatal. Resusitasi yang adekuat diharapkan dapat mencapai target
urine output > 30 ml/jam pada dewasa atau > 1 ml/KgBB pada anak-anak dan Mean Arterial Pressure lebih dari 60
mmHg (Brunicardi, 2010).
Meskipun larutan Ringer Lactate lebih
sering digunakan, masih belum terdapat bukti bahwa cairan tersebut lebih
superior dibandingkan dengan NaCl 0,9%. Cairan kristaloid sama baiknya dengan
pemberian koloid. Pada umumnya, trasnfusi darah jarang diperlukan. Pemberian
hanya direkomendasikan bila kadar hemoglobin dalam darah antara 6 – 8 g/dL atau
kurang (Curinga et al., 2012) karena
risiko komplikasi yang lebih besar. Kateter intravena dapat dipasang pada area
yang luka jika diperlukan atau infus intraoseus dapat digunakan (Brunicardi,
2010).
Rawat Luka
Pendinginan
awal (30 menit pertama) dapat mengurangi kedalaman luka bakar dan nyeri, akan
tetapi pendinginan yang berlebihan harus dihindari karena dapat menyebabkan
hipotermia. Pendinginan harus dilakukan dengan memberikan air dingin dengan
suhu antara 10 – 25 oC, dan tidak menggunakan es karena dapat
menyebabkan luka bertambah berat (Marx, 2010). Luka bakar akibat bahan kimia
memerlukan irigasi yang lebih ekstensif. Membersihkan dengan air mengalir dan
sabun, membuang jaringan yang mati, dan penggunaan dressing atau perban merupakan hal yang penting untuk menutup dan
merawat luka. Jika terdapat bullae atau kulit melepuh yang intak, terdapat
beberapa bukti yang mendukung untuk tidak memecahkan bullae tersebut dan tetap
membiarkannya intak. Luka bakar derajat dua harus dilakukan evaluasi setelah 2
hari dan dilakukan penggantian perban (Tintinalli, 2010). Penggunaan antibiotik
silver sulfadiazine tidak direkomednasikan karena dapat memperlama waktu
penyembuhan (Wasiak et al., 2013).
Medikasi
Luka
bakar dapat menyebabkan nyeri yang hebat dan membutuhkan manajemen nyeri.
Analgesik NSAID seperti Ibuprofen dan Acetaminophen dapat diberikan untuk
mengurangi nyeri. Benzodiazepine dapat digunakan sebagai tambahan analgesic
untuk mengurangi kecemasan akibat nyeri. Selama proses penyembuhan, penggunaan
antihistamin, pemijatan, dan transcutaneous
nerve stimulation (TNS) dapat diberikan untuk mengurangi rasa gatal (Goutos
et al., 2009). Akan tetapi penggunaan
antihistamin hanya efektif pada 20% kasus luka bakar. Penggunaan gabapentin
dapat dipertimbangkan jika tidak ada perbaikan dengan pemberian antihistamin
(Herndon, 2012). Penggunaan lidokain intravena membutuhkan studi lebih lanjut sebelum
direkomendasikan untuk manajeen nyeri pada luka bakar (Wasiak et al., 2014).
Pemberian antibotik intravena
direkomendasikan pada luka bakar ekstensif (>60% TBSA) sebelum menjalani
operasi. Penggunaan antibiotic dapat meningkatkan harapan hidup pada luka bakar
yang luas dan berat (Avni et al.,
2010). Pemberian eritropoietin belum terbukti efektif untuk menangani anemia
pada kasus luka bakar. Pemberian recombinant
human growth factor (rhGH) pada luka bakar yang melibatkan >40% TBSA
terbukti dapat mempercepat proses penyembuhan (Breederveld & Tuinebreijer,
2014).
Pembedahan
Luka bakar yang membutuhkan penutupan
dengan skin graft atau flaps harus
dilakukan sedini mungkin. Luka sirkumferensial pada dada atau ekstremitas
memerlukan pembedahan dan pengangkatan jaringan kulit dengan segera, yang
dikenal dengan eksarotomi. Hal ini dilakukan untuk mengindari gangguan pada
sirkulasi distal, atau ventilasi pada paru-paru. Fasiotomi dapat dilakukan jika
terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan kompartemen (Orgill & Piccolo,
2009). Cangkok kulit atau skin graft dapat
bersifat sementara dengan menggunakan kulit binatang atau sintesis. Kulit
tersebut digunakan sebagai penutup luka, mencegah infeksi dan kehilangan
cairan, akan tetapi perlu dilakukan pengangkatan setelahnya. Kulit donor yang
berasal dari manusia dapat digunakan secara permanen tanpa adanya reaksi penolakan.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin dapat terjadi,
salah satu yang paling sering terjadi adalah. Menurut frekuensi terjadinya,
komplikasi yang potensial seperti pneumonia, selulitis, infeksi saluran kemih,
dan gagal napas inferksi (Herndon, 2012). Faktor risiko infeksi meliputi luka
bakar > 30% TBSA, luka bakar ketebalan penuh, usia yang ekstrim (terlalu
muda atau tua), atau luka bakar yang melibatkan tungkai bawah dan perineum
(King et al., 2008). Pneumonia biasanya
terjadi pada trauma inhalasi (Brunicardi, 2010).
Trauma elektrik dapat menngakibatkan
sindrom kompartemen atau rhabdomyolisis karena kerusakan jaringan otot. Penggumpalan
darah pada vena tungkai bawah diperkirakan terjadi pada 6 – 25% kasus. Keadaan
hipermetabolisme dimana terjadi peningkatan katekolamin, kortisol, dan sel
inflamasi dapat terjadi selama 24 bulan setelah mengalami luka bakar yang dapat
berakibat pada berkurangnya densitas tulang dan hilangnya massa otot (Rojas et al., 2012). Luka bakar juga dapat
menyebabkan terbentuknya jaringan parut dan keloid khususnya pada usia muda dan
berkulit gelap (Juckett & Hartman-Adams, 2009).
Edit:
14 Mar 2020
Referensi:
- Avni, T., Levcovich, A., Ad-El, D. D., Leibovici, L., Paul, M. 2010. Prophylactic antibiotics for burns patients: systematic review and meta-analysis. BMJ. 340: c241.
- Breederveld, R. S., Tuinebreijer, W. E. 2014. Recombinant human growth hormone for treating burns and donor sites. The Cochrane Database of Systematic Reviews. 9 (9): CD008990.
- British National Formulary for Children 2008. Section 14.5 Immunoglobulins.
- Brunicardi, C. 2010. Chapter 8: Burns. Schwartz's principles of surgery (9th ed.). New York: McGraw-Hill, Medical Pub. Division.
- Buttaro, Terry. 2012. Primary Care: A Collaborative Practice. Elsevier Health Sciences. p. 236.
- Curinga, G., Jain, A., Feldman, M., Prosciak, M., Phillips, B., Milner, S. 2011. Red blood cell transfusion following burn. Burns. 37 (5): 742–52.
- Eisen, S., Murphy, C. 2009. Murphy, Catherine; Gardiner, Mark; Sarah Eisen. Training in paediatrics : the essential curriculum. Oxford: Oxford University Press. p. 36.
- Enoch, S., Roshan, A., Shah, M. 2009. Emergency and early management of burns and scalds. BMJ. 338: b1037.
- Ferri, F.F. 2012. Ferri's netter patient advisor (2nd ed.). Philadelphia, PA: Saunders. p. 235.
- Goutos, I., Dziewulski, P., Richardson, P.M. 2009. Pruritus in burns: review article. Journal of Burn Care & Research. 30 (2): 221–8.
- Granger, J. 2009. An Evidence-Based Approach to Pediatric Burns. Pediatric Emergency Medicine Practice. 6 (1).
- Hannon, R. 2010. Porth pathophysiology : concepts of altered health states (1st Canadian ed.). Philadelphia, PA: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. p. 1516.
- Hardwicke, J., Hunter, T., Staruch, R., Moiemen, N. 2012. Chemical burns—an historical comparison and review of the literature. Burns : Journal of the International Society for Burn Injuries. 38 (3): 383–7.
- Herndon, D. 2012. Chapter 3: Epidemiological, Demographic, and Outcome Characteristics of Burn Injury. Total burn care (4th ed.). Edinburgh: Saunders. p. 23.
- Herndon, D. 2012. Chapter 4: Prevention of Burn Injuries. Total burn care (4th ed.). Edinburgh: Saunders. p. 46.
- Herndon D, ed. 2012. Chapter 10: Evaluation of the burn wound: management decisions. Total burn care (4th ed.). Edinburgh: Saunders. p. 127.
- Immunisation Guidelines for Ireland. National Immunisation Advisory Committee. 2008 Edition. Chapter 15,Tetanus.
- Jeschke, M. 2012. Handbook of Burns Volume 1: Acute Burn Care. Springer. p. 77.
- Juckett, G., Hartman-Adams, H. 2009. Management of keloids and hypertrophic scars. American Family Physician. 80 (3): 253–60.
- Jull, A. B., Cullum, N., Dumville, J. C., Westby, M. J., Deshpande, S., Walker, N. 2015. Honey as a topical treatment for wounds. The Cochrane Database of Systematic Reviews. 3 (3): CD005083.
- Kearns, R. D., Cairns, C. B., Holmes, J. H., Rich, P. B., & Cairns, B. A. 2013. Thermal burn care: a review of best practices. What should prehospital providers do for these patients? EMS world. 42 (1): 43–51.
- King, C., Henretig, F. M., King, B. R., Loiselle, J., Ruddy, R. M., Wiley II, J. F. 2008. Textbook of pediatric emergency procedures (2nd ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. p. 1077.
- Klingensmith, M. 2007. The Washington manual of surgery (5th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 422.
- Kowalski, Caroline, B. S., Mary, T. 2008. Textbook of basic nursing (9th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 1109.
- Krieger, J. 2010. Clinical environmental health and toxic exposures (2nd ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 205.
- Maguire, S., Moynihan, S., Mann, M., Potokar, T., Kemp, A.M. 2008. A systematic review of the features that indicate intentional scalds in children. Burns : Journal of the International Society for Burn Injuries. 34 (8): 1072–81.
- Mahadevan, S. V., Garmel, G.M. 2012. An introduction to clinical emergency medicine (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press. pp. 216–219.
- Makarovsky, I., Markel, G., Dushnitsky, T., Eisenkraft, A. 2008. Hydrogen fluoride—the protoplasmic poison. The Israel Medical Association Journal : IMAJ. 10 (5): 381–5.
- Marx, J. 2010. Chapter 140: Electrical and Lightning Injuries. Rosen's emergency medicine : concepts and clinical practice (7th ed.). Philadelphia: Mosby/Elsevier.
- Orgill, D. P., Piccolo, N. 2009. Escharotomy and decompressive therapies in burns. Journal of Burn Care & Research. 30 (5): 759–68.
- Peck, M. D. 2011. Epidemiology of burns throughout the world. Part I: Distribution and risk factors. Burns : journal of the International Society for Burn Injuries. 37 (7): 1087–100. doi:10.1016/j.burns.2011.06.005.
- Phillip, L.R., & Dennis, P.O. 2014. Emergency care of moderate and severe thermal burns in adults. UpToDate.
- Prahlow, J. 2010. Forensic pathology for police, death investigators, attorneys, and forensic scientists. Forensic Pathology for Police, Death Investigators, Attorneys, and Forensic Scientists. p. 485. https://doi.org/10.1007/978-1-59745-404-9.
- Rojas, Y., Finnerty, C. C., Radhakrishnan, R. S., Herndon, D. N. December 2012. Burns: an update on current pharmacotherapy. Expert Opinion on Pharmacotherapy. 13 (17): 2485–94.
- Rousseau, A. F., Losser, M. R., Ichai, C., Berger, M.M. 2013. ESPEN endorsed recommendations: nutritional therapy in major burns. Clinical Nutrition. 32 (4): 497–502.
- Shaw, J., & Dibble, C. 2006. Best evidence topic report. Management of burns blisters. Emergency medicine journal : EMJ, 23(8), 648–649.
- Tintinalli, Judith E. 2010. Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide (Emergency Medicine (Tintinalli)). New York: McGraw-Hill Companies. pp. 1374–1386.
- Wasiak, J., Cleland, H., Campbell, F., Spinks, A. 2013. Dressings for superficial and partial thickness burns. The Cochrane Database of Systematic Reviews. 3 (3): CD002106.
- Wasiak, J., Mahar, P. D., McGuinness, S. K., Spinks, A., Danilla, S., Cleland, H., Tan, H.B. 2014. Intravenous lidocaine for the treatment of background or procedural burn pain. The Cochrane Database of Systematic Reviews. 10 (10): CD005622.
- World Health Organization. 2016. Burns.



No comments
Tulis komentar Anda...