Header Ads

Header ADS

Derajat dan Tatalaksana pada Luka Bakar

Luka Bakar
     Luka bakar adalah cedera pada kulit yang disebabkan oleh panas, dingin, arus listrik, zat kimia, gesekan, atau radiasi (Herndon, 2012). Sebagian besar luka bakar disebabkan karena cairan panas, benda padat degan temperature tinggi, atau api. Pada perempuan, risiko luka bakar disebabkan karena penggunaan alat masak yang tidak aman, sedangkan pada laki-laki disebabkan karena lingkungan kerja (WHO, 2016).

     Secara umum, luka bakar diklasifikasikan dari derajat 1 hingga derajat 4, tetapi American Burn Association (ASA) mengklasifikasikan luka bakar menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan kedalaman dan ukuran luka bakar (Phillip & Dennis, 2014). Luka bakar yang mengenai lapisan kulit superfisial disebut sebagai luka bakra superfisial atau luka bakar derajat 1 (Tintinalli, 2010). Lesi tampak merah tanpa vesikel dan nyeri yang berlangsung selama 3 hari. Ketika luka mengenai lapisan kulit yang lebih dalam, maka diklasifikasikan menjadi luka bakar derajat 2. Lesi disertai vesikel dan terasa sangat nyeri. Proses peneymbuhan dapat mmerlukan waktu hingga 8 minggu dan dapat terbentuk jaringan parut. Pada luka bakar derajat 3, kerusakan jaringan meliputi seluruh lapisan kulit. Biasanya tidak terasa nyeri dan bagian kulit yang mengalami luka terasa kaku. Proses penyembuhan biasanya tidak dapat terjadi secara alamiah dan membutuhkan penanganan lebih lanjut. Luka bakar derajat 4 meliputi jaringan yang lebih dalam seperti tendon, otot, atau tulang. Lesi berwarna kehitaman dan menyebabkan lepasnya jaringan (Ferri, 2012).

     Penanganan luka bakar berbeda-beda sesuai dengan kedalaman luka. Luka bakar derajat 1 dapat ditangani dengan pemberian antinyeri, sementara luka bakar yang dalam membutuhkan penanganan yang lebih lama dan dapat dilakukan di pusat penanganan trauma (Tintinalli, 2010). Pendinginan dengan air mengalir dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan jaringan yang lebih luas, tetapi dalam jangka waktu lama dapat menurunkan suhu tubuh hingga menyebabkan hipotermia sesuai derajat dan luas luka (Granger, 2009). Luka bakar derajat 2 memerlukan penanganan dengan air dan sabun, kemudian ditutup dengan kassa steril. Bullae atau kulit yang melepuh tetap dibiarkan intak untuk mencegah infeksi dengan mempertahankan kontinuitas jaringan kulit (Shaw & Dibble, 2006). Luka bakar derajat 3 membutuhkan penanganan bedah, seperti skin graft. Luka bakar yang luas membutuhkan cairan intravena dalam jumlah banyak, disebabkan karena kebocoran cairan pada kapiler dan pembengkakan jaringan (Granger, 2009). Komplikasi paling umum dari luka bakar adalah infeksi (Herndon, 2012). Tetanus anti-toxin (Tetanus Immunoglobulin) diberikan sesuai indikasi seperti pada tabel di bawah ini. Tetagam sebaiknya tidak diberikan secara IV karena risiko syok anafilaktik (Immunization Guide for Ireland, 2008).

Usia
Status Imunisasi
Luka Bersih
Luka Kotor
<4 tahun
<3 dosis atau tidak diketahui
vaksin 6 in 1 (Difteri, hepatitis B, Hib, pertussis, polio, dan tetanus)
TIG + vaksin 6 in 1
>4 tahun – 9 tahun
<3 dosis atau tidak diketahui
vaksin 6 in 1, atau
vaksin 4 in 1
TIG + vaksin 6 in 1 atau vaksin 4 in 1
Hanya 3 dosis, 5 tahun sejak dosis terakhir
vaksin 4 in 1
vaksin 4 in 1
*pertimbangkan TIG
3 dosis, <5 tahun sejak tetanus toxoid (TT) terakhir
Nil.
vaksin 4 in 1
*pertimbangkan TIG
4 dosis, >5 tahun sejak tetanus toxoid (TT) terakhir
Nil.
*pertimbangkan TIG
>10 tahun
<3 dosis atau tidak diketahui
Td, Tdap, atau Tdasp/IPV
TIG + Td, Tdap, atau Tdap/IPV
≥3 dosis selama >10 tahun sejak dosis terakhir
Td atau Tdap
Td atau Tdap
*pertimbangkan TIG
≥3 dosis selama <10 tahun sejak dosis terakhir
Nil.
*pertimbangkan TIG
Keterangan:
TIG : Tetanus Immunoglobulin
DTap/IPV/Hib : Diphtheria, Tetanus and acellular Pertussis vaccine/Inactivated Polio Virus vaccine/ Haemophilius influenzae b vaccine
DTaP/IPV = Diphtheria, Tetanus and acellular Pertussis vaccine/Inactivated Polio Virus vaccine
Td/IPV = Tetanus, low-dose diphtheria/ Inactivated Polio Virus vaccine
Tdap = Tetanus, low-dose diphtheria and low-dose acellular pertussis vaccine

     Dosis profilaksis TIG pada dewasa adalah 250 IU secara IM, atau 500 IU secara IM jika pemberian dilakukan >24 jam setelah terjadinya luka atau berat badan >90 kg, atau luka dengan kontaminasi yang berat, atau pada luka bakar dan luka pada fraktur terbuka. Dosis terapetik jika diagnosis tetanus telah ditegakkan adalah 150 IU/kgBB secara IM diberikan pada beberapa lokasi, jika volume besar (> 2 ml pada anak-anak) direkomendasikan untuk diberikan pada lokasi yang berbeda (BNF for Children, 2008).


TANDA DAN GEJALA

     Karakteristik luka bakar ditentukan dari kedalaman luka. Luka bakar derajat 1 atau superfisial menyebabkan nyeri yang berlangsung selama kurang lebih 3 hari, diikuti pengelupasan kulit pada bagian yang mengalami luka bakar beberapa hari setelahnya. Pada luka bakar yang lebih berat, bagian yang mengalami luka akan terasa seperti tertekan, sedangkan nyeri tidak terlalu dirasakan. Pada luka bakar derajat 3, kulit menjadi tidak sensitif terhadap rangsang sentuhan ringan atau tusukan jarum (Herndon, 2012). Luka bakar superfisial biasanya berwarna kemerahan, sedangkan luka bakar yang lebih dalam dapat berwarna merah muda, putih, atau kehitaman. Luka bakar di sekitar mulut atau bulu hidung yang terbakar dapat mengindikasikan adanya trauma inhalasi atau luka bakar pada saluran pernapasan, akan tetapi temuan ini tidak definitif. Beberapa tanda yang menjadi perhatian antara lain sesak napas atau napas pendek, suara serak, stridor, atau wheezing (Brunicardi, 2010). Rasa gatal merupakan hal yang umu terjadi selama proses penyembuhan, mati rasa dan kesemutan dapat terjadi dalam jangka beberapa waktu setelah terkena arus listrik (Marx, 2010).

Berdasarkan derajat kedalamannya, luka bakar dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis seperti pada tabel di bawah ini.

Tipe
Lapisan
Kulit
Tampakan
Sensasi
Waktu
Penyembuhan
Prognosis
Superfisial
(luka bakar derajat I)
Epidermis
Merah tanpa adanya vesikel
Nyeri
5 – 10 hari
Sembuh dengan baik, paparan sinar matahari yang berulang dapat meningkatkan risiko kanker kulit (Buttaro, 2012)
Superfisial sebagian (derajat II)
Meluas ke lapisan dermis superfisial (papiler)
Kemerahan disertai kulit melepuh, pucat dengan penekanan
Sangat nyeri
2 – 3 minggu
Infeksi lokal tetapi biasanya tidak disertai selulitis
Dalam sebagian (derajat II)
Meluas ke lapisan dermis dalam (retikuler)
Kuning atau putih, lebih tidak pucat, dapat melepuh
Rasa tertekan pada kulit dan tidak nyaman
3 – 8 minggu
Jaringan parut, kontraktur (mungkin memerlukan eksisi dan skin graft)
Seluruh lapisan (derajat III)
Meluas ke seluruh lapisan dermis
Kaku dan putih atau coklat, tidak pucat
Tidak nyeri
Lama (beberapa bulan) dan tidak sempurna
Jaringan parut, kontraktur, dan amputasi (dianjurkan eksisi dini)
Derajat IV
Meluas ke seluruh lapisan kulit, lapisan lemak, otot, dan tulang di bawahnya
Hitam, hangus dengan eskar
Tidak nyeri
Perlu eksisi
Amputasi, gangguan fungsional yang signifikan, dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian



PENYEBAB

     Luka bakar disebabkan karena faktor eksternal yang dapat diklasifikasikan menjadi suhu (berkaitan dengan panas), kimia, elektrik, dan radiasi (Kowalski et al., 2008). Di Amerika Serikat, penyebab paling umum dari luka bakar antara lain kebakaran atau api, air panas, benda panas, arus listrik, dan zat kimia. Sebagian besar luka bakar terjadi di rumah atau di tempat kerja, dan pada umumnya terjadi secara tidak disengaja, dan 1-2% kasus terjadi karena percobaan bunuh diri (Peck, 2011). Penyebab luka bakar tersebut dapat mengakibatkan trauma inhalasi pada saluran napas atau paru-paru, terjadi pada sekitar 6% kasus. Luka bakar yang disebabkan karena api atau kebakaran di negara berkembang dikaitkan dengan metode memasak menggunakan api terbuka atau di atas lantai (Herndon, 2012).

Suhu

     Api dan cairan panas merupakan penyebab paling umum dari luka bakar. Merokok menyebabkan sekitar 25% kasus dan alat pemanas berkontribusi terhadap sekitar 22% kasus luka bakar. Hampir sebagian besar dari kejadian disebkan karena usaha untuk memadamkan api (Herndon, 2012). Kulit melepuh disebabkan karena cairan atau gas panas dan pada umumnya diakibatkan karena minuman panas, air kran dengan suhu tinggi, minyak, atau uap panas (Eisen & Murphy, 2009). Kulit melepuh akibat cairan panas sering terjadi pada anak usia di bawah lima tahun, sementara kontak langsung dengan benda panas menyebabkan sekitar 20-30% kasus luka bakar pada anak-anak. Secara umum scalds atau kulit melepuh merupakan luka bakar derajat I atau derajat II, tetapi dapat juga menyebabkan luka bakar derajat III jika terjadi kontak yang lebih lama (Maguire et al., 2008).

Zat Kimia

     Luka bakar akibat zat kimia berkontribusi terhadap sekitar 30% kematian. Hal ini dapat disebabkan oelh lebih dari 25.000 ejnis zat kimia, yang sebagian besar berupa basa kuiat (55%) dan sebagiannya lagi berupa asam kuat (26%) (Hardwicke et al., 2012). Kematian akibat luka bakar sebagain besar terjadi karena trauma inhalasi, zat kimia yang sering dijumpai sebagai penyebab luka bakar adalah asam sulfat pada pembersih toilet, sodium hipoklorit yang digunakan sebagai pemutih lantai dan pakaian, serta hidrokarbon halogenasi yang digunakan sebagai penghilang cat. Asam hidroklorat menyebabkan luka bakar dalam yang dapat asimptomatik hingga beberapa waktu setelah paparan (Makarovsky, 2008). Asam format dapat menyebabkan perombakan atau sel darah merah dalam jumlah yang signifikan (Brunicardi, 2010).

Arus Listrik

     Trauma elektrik disebabkan karena arus listrik yang diklasifikasikan menjadi tegangan tinggi (lebih dari 1000 volt), tegangan rendah (kurang dari 1000 volt), atau luka bakar akibat petir (Tintinalli, 2012). Pada anak-anak, trauma elektrik paling sering disebabkan karena kabel yang bermuatan listrik (60%), kemudian diikuti oleh saklar listrik (14%). Petir dapat menyebabkan trauma elektrik dimana risikonya meningkat dengan aktivitas di luar ruangan seperti mendaki gunung, golf dan olahraga di lapangan, atau berjalan-jalan di luar ruangan. Sekitar 10% kasus tersambar petir mengakibatkan kematian (Marx, 2010).
Selain menyebabkan luka bakar, trauma elektrik juga dapat menyebabkan fraktur dan dislokasi akibat trauma tumpul atau kontraksi otot yang berlebihan. Pada trauma elektrik akibat arus listrik bertegangan tinggi, sebagian besar kerusakan terjadi di dalam tubuh dan tidak dapat diamati melalui pemeriksaan fisik dengan inspeksi kulit. Kontak dengan arus listrik bertegangan rendah dan tinggi dapat menyebabkan aritmia jantung atau sudden cardiac arrest (Marx, 2010).

Radiasi

     Luka bakar akibat radiasi dapat disebabkan karena paparan sinar ultraviolet dalam jangaka waktu yang cukup lama (misalnya sinar matahari, alat tanning, dan alat las) atau radiasi pengion (misalnya terapi radiasi, sinar X-ray, dan zat radioaktif) (Prahlow, 2010). Paparan sinar matahari merupakan penyebab paling sering luka bakar karena radiasi dan luka bakar superfisial secara keseluruhan (Kearns et al., 2013). Efek dari radiasi pengion tergantung pada jumlah atau besarnya radiasi yang diserap oleh kulit dengan kerontokan rambut terlihat pada 3 Gy, kemerahan pada radiasi 10 Gy, kulit mengelupas pada radiasi 20 Gy, dan nekrosis jaringan pada radiasi 30 Gy (Marx, 2010). Kemerahan bisa jadi tidak muncul hingga paparan dalam jangka waktu tertentu. Luka bakar akibat radiasi diberikan tatalaksana seperti luka bakar pada umumnya. Luka bakar akibat gelombang mikro diakibatkan karena pemanasan oleh microwave, meskipun dengan paparan hanya dalam hitungan detik (Krieger, 2010).


PATOFISIOLOGI

     Pada suhu lebih dari 44 oC (111 oF), protein mengalami denaturasi dan kehilangan struktur 3 dimensinya. Hal ini menyebabkan kematian sel dan kerusakan jaringan. Efek langsung yang diakibatkan karena luka bakar adalah gangguan sekunder fungsi kulit, seperti hilangnya sensiblitas, kemampuan mengurangi penguapan, dan kemampuan mengatur suhu tubuh. Kerusakan pada membrane sel meenyebabkan sel kehilangan Kalium ke luar lingkungan sel serta masuknya air dan ion Natrium (Tintinalli, 2010).

     Pada luka bakar yang luas >30% terjadi respon inflamasi yang signifikan. Hal ini menyebabkan kehilangan cairan yang lebih banyak melalui pembuluh kapiler dan jaringan yang mengalami kerusakan. Hal ini juga menyebabkan kehilangan volume darah, disertai dengan berkurangnya plasma pada darah, sehingga menyebabkan darih semakin terkonsentrasi. Aliran darah yang rendah ke organ-organ vital seperti ginjal dan traktus gastrointestinal dapat menyebabkan gagal ginjal dan ulkus pada saluran gastrointestinal (Hannon, 2010). Peningkatan katekolamin (adrenalin, noradrenalin, dan dopamine) serta dapat menimbulkan kondisi hipermetabolisme yang berkaitan dengan peningkatan curah jantung, metabolisme, denyut jantung, dan immunosupresi (Rojas et al., 2012).
  

DIAGNOSIS

     Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman, mekanisme, perluasan, dan cedera lain yang berkaitan. Klasifikasi yang paling sering digunakan adalah berdasarkan kedalaman luka bakar. Kedalaman luka biasanya ditentukan dari pengamatan, meskipun tidak menutup kemungkinan biposi jaringan juga dapat dilakukan (Tintinalli, 2010). Kesulitan dalam menentukan derajat kedalaman luka dapat dialami jika pengamatan hanya dilakukan sekali, sehingga dapat dilakukan pengamatan ulang beberapa hari kemudian. Jika terdapat keluhan nyeri kepala atau pusing setelah mengalami luka bakar, maka kemungkinan keracunan karbon monoksida dapat dipertimbangkan (Mahadevan & Garmel, 2012). Selain itu kemungkinan mengalami keracunan sianida juga dapat dipertimbangkan (Brunicardi, 2010).

Rule of Nine untuk menentukan luas luka bakar
Luas

     Luas luka bakar dihitung menggunakan persentase total body surface area (TBSA) yang mengalami luka bakar parsial atau total. Luka bakar derajat satu yang hanya berwarna kemerahan dan tidak melepuh tidak dimasukkan dalam penentuan luas luka bakar (Tintinalli, 2010). Terdapat berbagai metode untuk menentukan TBSA, seperti Wallace rule of nines, Lund and Browder chart, dan perkiraan berdasarkan luas telapak tangan korban. Rule of nine mudah untuk diingat akan tetapi hanya akurat pada pasien berusia lebih dari 16 tahun. Penentuan yang lebih akurat menggunakan Lund and Browder chart yang menghitung perbedaan proporsi tubuh pada dewasa dan anak-anak (Granger, 2009).

Keparahan

     Untuk menentukan perlu atau tidaknya rujukan ke fasilitas khusus luka bakar, American Burn Association membuat klasifikasi yang membagi luka bakar menjadi minor, moderate, dan mayor. Tingkat keparahan luka bakar dinilai berdasarkan berbagai faktor seperti TBSA, area anatomis tertentu, usia, dan cedera yang berkaitan. Luka bakar minor dapat diberikan tatalaksana di rumah, luka bakar moderate biasanya ditangani di rumah sakit, dan luka bakar mayor harus dirujuk ke pusat penanganan luka bakar (Mahadevan & Garmel, 2012).

Klasifikasi tingkat keparahan luka bakar berdasarkan American Burn Association

Minor
Moderate
Mayor
Dewasa <10% TBSA
Dewasa 10 – 20% TBSA
Dewasa >20% TBSA
Anak – anak atau lansia <5% TBSA
Anak – anak atau lansia 5 – 10% TBSA
Anak – anak atau lansia >10% TBSA
<2% luka bakar derajat III
2 – 5% luka bakar derajat III
>5% lua bakar derajat III

Trauma voltase tinggi
Luka bakar voltase tinggi

Curiga trauma inhalasi
Terbukti trauma inhalasi

Luka bakar sirkumferensial
Luka bakar pada wajah, sendi, tangan, atau kaki yang signifikan

Kondisi medis lainnya
Cedera lain yang berkaitan


TATALAKSANA

     Penanganan diawali dengan menilai kondisi pasien dan stabilisasi airway, breathing, dan circulation. Jika terdapat tanda trauma inhalasi, dapat dilakukan intubasi dengan segera (Brunicardi, 2010). Hal ini dilanjutkan dengan penanganan luka bakar itu sendiri. Pada pasien dengan luka bakar yang ekstensif dapat dilakukan pembalutan dengan kassa steril sampai tiba di rumah sakit. Oleh karena luka bakar rawan terhadap infeksi, maka dapat dilakukan pemberian booster tetanus pada individu yang tidak mendapatkan imunisasi dalam waktu 5 tahun terakhir (Klingesmith, 2007). Menurut darta epidemiologis, sebanyak 95% luka bakar di Amerika Serikat yang tiba di Instalasi Gawat Darurat diberikan tatalaksana dan rawat jalan, sedangkan sebanyak 5% membutuhkan admisi di rumah sakit (Peck, 2011). Pada luka bakar mayor, pemberian asupan makanan merupakan hal yang penting. Asupan protein harus ditingkatkan, serta suplemenetasi vitamin dan mineral dapat diberikan (Rousseau et al., 2013).

Rehidrasi Intravena

     Pada perfusi jaringan yang buruk, larutan kristaloid isotonik dapat diberikan secara bolus. Pada anak- anak dengan luka bakar lebih dari 10 – 20% TBSA, dan dewasa dengan luka bakar lebih dari 15% TBSA, resusitasi dengan kristaloid dan dilanjutkan dengan monitoring tanda-tanda vital (Granger, 2009). Resusitasi perlu diberikan sebelum pasien tiba di rumah sakit jika memungkinkan pada luka bakar dengan luas lebih dari 25% TBSA (Enoch et al., 2009). Formula Parkland dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan resusitasi cairan pada 24 jam pertama. Formula tersebut didasarkan pada TBSA dan berat badan pasien. Setengah dari jumlah cairan yang dibutuhkan diberikan dalam 8 jam pertama, setengah cairan dilanjutkan dalam 16 jam berikutnya. Waktu pemberian dihitung pada saat terjadinya luka bakar, dan tidak dihitung dari awal dilakukannya resusitasi. Anak-anak membutuhkan cairan rumatan tambahan yang mengandung glukosa. Cairan yang lebih banyak dibutuhkan pada trauma inhalasi (Jeschke, 2012). Resusitasi yang tidak adekuat atau berlebihan dapat berakibat fatal. Resusitasi yang adekuat diharapkan dapat mencapai target urine output > 30 ml/jam pada dewasa atau > 1 ml/KgBB pada anak-anak dan Mean Arterial Pressure lebih dari 60 mmHg (Brunicardi, 2010).

     Meskipun larutan Ringer Lactate lebih sering digunakan, masih belum terdapat bukti bahwa cairan tersebut lebih superior dibandingkan dengan NaCl 0,9%. Cairan kristaloid sama baiknya dengan pemberian koloid. Pada umumnya, trasnfusi darah jarang diperlukan. Pemberian hanya direkomendasikan bila kadar hemoglobin dalam darah antara 6 – 8 g/dL atau kurang (Curinga et al., 2012) karena risiko komplikasi yang lebih besar. Kateter intravena dapat dipasang pada area yang luka jika diperlukan atau infus intraoseus dapat digunakan (Brunicardi, 2010).

Rawat Luka

     Pendinginan awal (30 menit pertama) dapat mengurangi kedalaman luka bakar dan nyeri, akan tetapi pendinginan yang berlebihan harus dihindari karena dapat menyebabkan hipotermia. Pendinginan harus dilakukan dengan memberikan air dingin dengan suhu antara 10 – 25 oC, dan tidak menggunakan es karena dapat menyebabkan luka bertambah berat (Marx, 2010). Luka bakar akibat bahan kimia memerlukan irigasi yang lebih ekstensif. Membersihkan dengan air mengalir dan sabun, membuang jaringan yang mati, dan penggunaan dressing atau perban merupakan hal yang penting untuk menutup dan merawat luka. Jika terdapat bullae atau kulit melepuh yang intak, terdapat beberapa bukti yang mendukung untuk tidak memecahkan bullae tersebut dan tetap membiarkannya intak. Luka bakar derajat dua harus dilakukan evaluasi setelah 2 hari dan dilakukan penggantian perban (Tintinalli, 2010). Penggunaan antibiotik silver sulfadiazine tidak direkomednasikan karena dapat memperlama waktu penyembuhan (Wasiak et al., 2013).

Medikasi

     Luka bakar dapat menyebabkan nyeri yang hebat dan membutuhkan manajemen nyeri. Analgesik NSAID seperti Ibuprofen dan Acetaminophen dapat diberikan untuk mengurangi nyeri. Benzodiazepine dapat digunakan sebagai tambahan analgesic untuk mengurangi kecemasan akibat nyeri. Selama proses penyembuhan, penggunaan antihistamin, pemijatan, dan transcutaneous nerve stimulation (TNS) dapat diberikan untuk mengurangi rasa gatal (Goutos et al., 2009). Akan tetapi penggunaan antihistamin hanya efektif pada 20% kasus luka bakar. Penggunaan gabapentin dapat dipertimbangkan jika tidak ada perbaikan dengan pemberian antihistamin (Herndon, 2012). Penggunaan lidokain intravena membutuhkan studi lebih lanjut sebelum direkomendasikan untuk manajeen nyeri pada luka bakar (Wasiak et al., 2014).

     Pemberian antibotik intravena direkomendasikan pada luka bakar ekstensif (>60% TBSA) sebelum menjalani operasi. Penggunaan antibiotic dapat meningkatkan harapan hidup pada luka bakar yang luas dan berat (Avni et al., 2010). Pemberian eritropoietin belum terbukti efektif untuk menangani anemia pada kasus luka bakar. Pemberian recombinant human growth factor (rhGH) pada luka bakar yang melibatkan >40% TBSA terbukti dapat mempercepat proses penyembuhan (Breederveld & Tuinebreijer, 2014).

Pembedahan

     Luka bakar yang membutuhkan penutupan dengan skin graft atau flaps harus dilakukan sedini mungkin. Luka sirkumferensial pada dada atau ekstremitas memerlukan pembedahan dan pengangkatan jaringan kulit dengan segera, yang dikenal dengan eksarotomi. Hal ini dilakukan untuk mengindari gangguan pada sirkulasi distal, atau ventilasi pada paru-paru. Fasiotomi dapat dilakukan jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan kompartemen (Orgill & Piccolo, 2009). Cangkok kulit atau skin graft dapat bersifat sementara dengan menggunakan kulit binatang atau sintesis. Kulit tersebut digunakan sebagai penutup luka, mencegah infeksi dan kehilangan cairan, akan tetapi perlu dilakukan pengangkatan setelahnya. Kulit donor yang berasal dari manusia dapat digunakan secara permanen tanpa adanya reaksi penolakan.

Komplikasi

     Komplikasi yang mungkin dapat terjadi, salah satu yang paling sering terjadi adalah. Menurut frekuensi terjadinya, komplikasi yang potensial seperti pneumonia, selulitis, infeksi saluran kemih, dan gagal napas inferksi (Herndon, 2012). Faktor risiko infeksi meliputi luka bakar > 30% TBSA, luka bakar ketebalan penuh, usia yang ekstrim (terlalu muda atau tua), atau luka bakar yang melibatkan tungkai bawah dan perineum (King et al., 2008). Pneumonia biasanya terjadi pada trauma inhalasi (Brunicardi, 2010).

     Trauma elektrik dapat menngakibatkan sindrom kompartemen atau rhabdomyolisis karena kerusakan jaringan otot. Penggumpalan darah pada vena tungkai bawah diperkirakan terjadi pada 6 – 25% kasus. Keadaan hipermetabolisme dimana terjadi peningkatan katekolamin, kortisol, dan sel inflamasi dapat terjadi selama 24 bulan setelah mengalami luka bakar yang dapat berakibat pada berkurangnya densitas tulang dan hilangnya massa otot (Rojas et al., 2012). Luka bakar juga dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut dan keloid khususnya pada usia muda dan berkulit gelap (Juckett & Hartman-Adams, 2009).


Edit: 14 Mar 2020


Referensi:
  • Avni, T., Levcovich, A., Ad-El, D. D., Leibovici, L., Paul, M. 2010. Prophylactic antibiotics for burns patients: systematic review and meta-analysis. BMJ340: c241.
  • Breederveld, R. S., Tuinebreijer, W. E. 2014. Recombinant human growth hormone for treating burns and donor sites. The Cochrane Database of Systematic Reviews9 (9): CD008990.
  • British National Formulary for Children 2008. Section 14.5 Immunoglobulins.
  • Brunicardi, C. 2010. Chapter 8: Burns. Schwartz's principles of surgery (9th ed.). New York: McGraw-Hill, Medical Pub. Division.
  • Buttaro, Terry. 2012. Primary Care: A Collaborative Practice. Elsevier Health Sciences. p. 236.
  • Curinga, G., Jain, A., Feldman, M., Prosciak, M., Phillips, B., Milner, S. 2011. Red blood cell transfusion following burn. Burns37 (5): 742–52.
  • Eisen, S., Murphy, C. 2009. Murphy, Catherine; Gardiner, Mark; Sarah Eisen. Training in paediatrics : the essential curriculum. Oxford: Oxford University Press. p. 36.
  • Enoch, S., Roshan, A., Shah, M. 2009. Emergency and early management of burns and scalds. BMJ338: b1037.
  • Ferri, F.F. 2012. Ferri's netter patient advisor (2nd ed.). Philadelphia, PA: Saunders. p. 235.
  • Goutos, I., Dziewulski, P., Richardson, P.M. 2009. Pruritus in burns: review article. Journal of Burn Care & Research30 (2): 221–8.
  • Granger, J. 2009. An Evidence-Based Approach to Pediatric Burns. Pediatric Emergency Medicine Practice6 (1).
  • Hannon, R. 2010. Porth pathophysiology : concepts of altered health states (1st Canadian ed.). Philadelphia, PA: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. p. 1516.
  • Hardwicke, J., Hunter, T., Staruch, R., Moiemen, N. 2012. Chemical burns—an historical comparison and review of the literature. Burns : Journal of the International Society for Burn Injuries. 38 (3): 383–7.
  • Herndon, D. 2012. Chapter 3: Epidemiological, Demographic, and Outcome Characteristics of Burn Injury. Total burn care (4th ed.). Edinburgh: Saunders. p. 23.
  • Herndon, D. 2012. Chapter 4: Prevention of Burn Injuries. Total burn care (4th ed.). Edinburgh: Saunders. p. 46.
  • Herndon D, ed. 2012. Chapter 10: Evaluation of the burn wound: management decisions. Total burn care (4th ed.). Edinburgh: Saunders. p. 127.
  • Immunisation Guidelines for Ireland. National Immunisation Advisory Committee. 2008 Edition. Chapter 15,Tetanus.
  • Jeschke, M. 2012. Handbook of Burns Volume 1: Acute Burn Care. Springer. p. 77.
  • Juckett, G., Hartman-Adams, H. 2009. Management of keloids and hypertrophic scars. American Family Physician80 (3): 253–60.
  • Jull, A. B., Cullum, N., Dumville, J. C., Westby, M. J., Deshpande, S., Walker, N. 2015. Honey as a topical treatment for wounds. The Cochrane Database of Systematic Reviews3 (3): CD005083.
  • Kearns, R. D., Cairns, C. B., Holmes, J. H., Rich, P. B., & Cairns, B. A. 2013. Thermal burn care: a review of best practices. What should prehospital providers do for these patients? EMS world. 42 (1): 43–51.
  • King, C., Henretig, F. M., King, B. R., Loiselle, J., Ruddy, R. M., Wiley II, J. F. 2008. Textbook of pediatric emergency procedures (2nd ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. p. 1077.
  • Klingensmith, M. 2007. The Washington manual of surgery (5th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 422.
  • Kowalski, Caroline, B. S., Mary, T. 2008. Textbook of basic nursing (9th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 1109.
  • Krieger, J. 2010.  Clinical environmental health and toxic exposures (2nd ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 205.
  • Maguire, S., Moynihan, S., Mann, M., Potokar, T., Kemp, A.M. 2008. A systematic review of the features that indicate intentional scalds in children. Burns : Journal of the International Society for Burn Injuries. 34 (8): 1072–81.
  • Mahadevan, S. V., Garmel, G.M. 2012. An introduction to clinical emergency medicine (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press. pp. 216–219.
  • Makarovsky, I., Markel, G., Dushnitsky, T., Eisenkraft, A. 2008. Hydrogen fluoride—the protoplasmic poison. The Israel Medical Association Journal : IMAJ. 10 (5): 381–5.
  • Marx, J. 2010. Chapter 140: Electrical and Lightning Injuries. Rosen's emergency medicine : concepts and clinical practice (7th ed.). Philadelphia: Mosby/Elsevier.
  • Orgill, D. P., Piccolo, N. 2009. Escharotomy and decompressive therapies in burns. Journal of Burn Care & Research30 (5): 759–68.
  • Peck, M. D. 2011. Epidemiology of burns throughout the world. Part I: Distribution and risk factors. Burns : journal of the International Society for Burn Injuries. 37 (7): 1087–100. doi:10.1016/j.burns.2011.06.005.
  • Phillip, L.R., & Dennis, P.O. 2014. Emergency care of moderate and severe thermal burns in adults. UpToDate.
  • Prahlow, J. 2010. Forensic pathology for police, death investigators, attorneys, and forensic scientists. Forensic Pathology for Police, Death Investigators, Attorneys, and Forensic Scientists. p. 485. https://doi.org/10.1007/978-1-59745-404-9.
  • Rojas, Y., Finnerty, C. C., Radhakrishnan, R. S., Herndon, D. N. December 2012. Burns: an update on current pharmacotherapy. Expert Opinion on Pharmacotherapy13 (17): 2485–94.
  • Rousseau, A. F., Losser, M. R., Ichai, C., Berger, M.M. 2013. ESPEN endorsed recommendations: nutritional therapy in major burns. Clinical Nutrition32 (4): 497–502.
  • Shaw, J., & Dibble, C. 2006. Best evidence topic report. Management of burns blisters. Emergency medicine journal : EMJ23(8), 648–649.
  • Tintinalli, Judith E. 2010. Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide (Emergency Medicine (Tintinalli)). New York: McGraw-Hill Companies. pp. 1374–1386.
  • Wasiak, J., Cleland, H., Campbell, F., Spinks, A. 2013. Dressings for superficial and partial thickness burns. The Cochrane Database of Systematic Reviews3 (3): CD002106.
  • Wasiak, J., Mahar, P. D., McGuinness, S. K., Spinks, A., Danilla, S., Cleland, H., Tan, H.B. 2014. Intravenous lidocaine for the treatment of background or procedural burn pain. The Cochrane Database of Systematic Reviews10 (10): CD005622.
  • World Health Organization. 2016. Burns.

No comments

Tulis komentar Anda...

Powered by Blogger.