Inhibitor Renal Sodium-Glucose Transporter-2 (SGLT2) sebagai Tatalaksana Diabetes
Diabetes
merupakan penyakit metabolik kronik di mana tubuh tidak memproduksi atau
menggunakan dengan adekuat hormone insulin, sehingga menyebabkan disregulasi
dari glukosa. Berdasarkan laporan dari Centers
for Disease Control and Prevention di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar
30,3 juta orang yang setara dengan 9,4% populasi di Amerika memiliki penyakit
diabetes pada tahun 2015 (CDC, 2017). Sekitar 7,2 juta orang yang mengalami
diabetes tidak terlaporkan, sehingga menyebabkan penanganan yang tidak optimal.
Diabetes juga merupakan salah satu penyebab mortalitas utama pada tahun 2012,
yaitu sekitar 1,5 juta kematian secara global (WHO, 2017).
Diabetes tipe I merupakan kondisi di mana terjadi kerusakan sel β
pankreas yang disebabkan karena penyakit autoimun. Dengan demikian, pada
penyakit diabetes tipe I terjadi penurunan produksi hormone insulin, dan
membutuhkan administrasi eksogen dari hormon insulin. Sebaliknya, pada diabetes
tipe II tubuh mengalami resistensi insulin dan/atau tidak memproduksi insulin
dalam jumlah yang cukup. Diabetes mellitus tipe II merupakan jenis diabetes
yang lebih sering terjadi yaitu sekitar 90 – 95% dari populasi yang mengalami
diabetes di Amerika Serikat. Etiologi dari diabetes tipe II adalah multifaktor
disertai faktor risiko seperti faktor genetik, pengaruh lingkungan, asupan
nutrisi, aktivitas fisik, atau kombinasi dari berbagai faktor tersebut.
Kontributor utama yang menyebabkan peningkatan prevalensi diabetes adalah
epidemi obesitas. Di Amerika Serikat, sekitar 2/3 populasi dewasa mengalami
kelebihan berat badan atau obesitas, dan obesitas pada anak-anak juga dalam
tren yang meningkat (NIH, 2020).
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menyebabkan berbagai
macam komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Atherosklerosis merupakan
komplikasi mayor dari diabetes mellitus, yang dapat menyebabkan penyakit
jantung, gangguan sirkulasi, dan stroke, yang merupakan penyebab utama dari
morbiditas dan mortalitas di negara maju. Dengan demikian, diabetes dapat
dikategorikan sebagai faktor risiko independen untuk gagal jantung atau heart failure. Retinopati diabetik, yang
mempengaruhi sekitar sepertiga dari populasi penderita diabetes berumur 40
tahun atau lebih, merupakan penyebab utama dari kebutaan di Amerika Serikat. Diabetes
juga merupakan faktor risiko mayor untuk nefropati dan end stage renal disease (ESRD), yang menyumbang sekitar 44% gagal
ginjal yang baru terdiagnosis. Diabetes yang tidak terkontrol juga merupakan faktor
predisposisi vaskulopati, gangguan penyembuhan luka, dan neuropati, yang
berkontribusi pada lebih dari 60% amputasi non traumatik anggota gerak bawah (Nair
et al., 2018).
Diabetes dan komplikasinya mencerminkan beban ekonomi yang tinggi bagi masyarakat.
Perkiraan biaya total dalam penanganan pasien yang terdiagnosa diabetes pada
tahun 2012 sekitar 245 milyar dolar AS atau sekitar Rp 3.605,54 triliun (Dall et al., 2014). Hal ini belum disertai
dengan estimasi biaya tatalaksana komplikasi dan penurunan produktivitas di
tempat kerja. Meskipun biaya yang besar dalam tatalaksana diabetes dan
komplikasinya, serta dengan adanya pengobatan yang lebih baru untuk diabetes,
presentasi populasi yang didiagnosis dengan diabetes terus meningkat dan
proyeksi pada tahun 2050 sekitar 1 dari 3 orang dewasa mengalami diabetes di
Amerika Serikat. Identifikasi dan penemuan strategi baru penting dalam
tatalaksana diabetes (Boyle et al.,
2010).
RENAL
SODIUM-GLUCOSE CO-TRANSPORTER
Renal
sodium-glucose cotransporter-2 (SGTL2) berperan dalam 90% reabsorpsi glukosa
dari tubulus renalis, sedangkan SGLT-1 berperan dalam 10% sisanya (Wright et al., 2011). Transporter SGLT-2
terletak pada sisi luminal (brush border)
dari segmen awal tubulus convolutes proximal nefron. SGLT1 dan 2 berperan dalam
kotransport 1 molekul sodium (natrium) untuk setiap 1 molekul glukosa yang
direabsorpsi. Transpor diatur oleh transpor aktif sekunder, disertai dengan
aksi pompa primer sodium-potasium ATP-ase yang melapisi sisi basolateral dari
nefron, sehingga menjaga graiden elektrokimiawi natrium antara cairan tubular
dan ruang interstisial dengan memompa keluar 3 ion natrium dan memasukkan 1 ion
kalium (gambar 1).
Glukosa diabsorpsi ke dalam sel tubulus
konvolutus proximal kemudian ditransport ke gradien konsentrasi yang lebih
rendah pada sistem sirkulasi oleh glucose transporter-2 (GLUT-2) yang terletak
pada permukaan basolateral. Berperan dalam transport aktif, transport glukosa
sepanjang tubulus convolutus proximal dapat mengabsorpsi dengan kecepatan 375
mg/menit. Dikaitkan dengan kadar gula darah normal, kapasitas fungsional dari
transporter SGLT2 mampu untuk menjaga glukosa darah pada 100 mg/dL. Pada pasien
dengan diabetes, kapasitas fungsional dari SGLT2 mengalami kelebihan beban,
sehingga menyebabkan glikosuria. Dengan demikian, transporter SGLT2 berperan
dalam menjaga homeostasis glukosa secara keseluruhan bersama dengan faktor
lainnya seperti insulin dan glukagon. Sementara itu, SGLT1 terletak predominan
pada traktus intestinalis (transporter SGLT1 juga terdapat pada bagian distal
dari nefron tetapi dalam jumlah yang sedikit) dan bertanggung jawab dalam
absorpsi glukosa dan galaktosa dari traktus intestinalis dengan mekanisme yang
sama (Nai et al., 2018).
INHIBITOR
SGLT2 SEBAGAI TERAPI PADA DIABETES MELLITUS
SGLT2
merupakan strategi tatalaksana terbaru dalam menurunkan kadar glukosa plasma
dan toksisitas glukosa. Penghambatan SGLT2 efektif menurunkan kadar glukosa
darah serta memberikan manfaat lain, seperti penurunan berat badan, insidensi
hipoglikemia yang rendah, dan penurunan tekanan darah. Kelebihan dari mekanisme
SGLT2 tersebut adalah independen dari fungsi sel β atau resistensi insulin,
dengan demikian agen tersebut dapat digunakan sebagai tatalaksana diabetes tipe
2 dalam berbagai stadium penyakit (Zhang et
al., 2010). Risiko hipoglikemia minimal dengan dipertahankannya fungsi
SGLT1 selama pemberian tatalaksana inhibitor SGLT2, sehingga fungsi absorpsi
glukosa pada traktus intestinalis tetap dipertahankan dan melindungi dari
terjadinya hipoglikemia. Selain itu, SGLT2 juga diatur oleh kadar glukosa
darah; kadar glukosa yang tinggi menyebabkan upregulasi SGLT2 dan kadar gula
yang rendah menyebabkan downregulasi SGLT2 yang mencegah potensi episode
hipoglikemia (Nai et al., 2018).
Pada awal tahun 1800-an, florizin, suatu senyawa β-D-glukosida,
diisolasi dari kulit akar pohon apel, terbukti memiliki sifat glikosuria
(Ehrenkranz et al., 2005). Secara
kimiawi, florizin merupakan senyawa glukosida, yang memiliki bagian glukosa dan
sebuah aglikon di mana dua karbon aromatic dihubungkan oleh alkyl spacer. Meskipun demikian,
florizin dan senyawa O-glikosida lainnya gagal sebagai terapi yang efektif
untuk diabetes karena degradasi yang cepat oleh β-glukosidase di dalam traktus
gastrointestinalis. Selain itu, florizin lebih poten dalam menginhibisi SGLT1
dibandingkan dengan SGLT2, dan inhibisi SGLT1 dapat menyebabkan efek samping
seperti pada sistem gastrointestinal seperti diare dan dehidrasi (Wright et al., 2011). Florizin juga menginhibisi
GLUT1 yang dapat mengganggu uptake glukosa pada berbagai macam sel dan jaringan.
Kekurangan ini telah mendorong pengembangan C-glikosida heteroaromatik di mana
bagian gula berikatan dengan aglikon melalui ikatan karbon-karbon. C-glikosida
lebih stabil secara metabolik dibandingkan dengan O-glikosida karena resistensi
terhadap hidrolisis oleh enzim di saluran gastrointestinal dan secara cepat
diabsorpsi dalam bentuk yang belum berubah (gambar 2).
![]() |
Gambar 2. Struktur kimiawi florizin (O-glikosida) dan inhibitor SGLT2 yang telah disetujui penggunannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat (C-glikosida) yaitu dapagliflozin, canagliflozin, dan empagliflozin. |
Inhibitor SGLT2 dengan struktur kimia yang berbeda telah dikarakterisasi
dan berada dalam berbagai tahap uji klinis. Badan Pengawas Obat dan Makanan
(FDA) Amerika Serikat telah menyetujui penggunaan C-glikosida canagliflozin
(Invokana), dapagliflozin (Farxiga), dan empagliflozin (Jardiance) sebagai inhibitor
SGLT2 terbaru untuk tatalaksana diabetes mellitus (Cefalu & Riddle, 2015).
Obat tersebut menunjukkan kemampuannya dalam menurunkan kadar hemoglobin A1c
(HbA1c) sebesar 0,8% (tergantung dari kadar HbA1c awal) dan dapat digunakan sebagai
terapi tunggal maupun kombinasi dengan obat antidiabetik lainnya seperti
metformin, sulfonylurea, glitazone, dan insulin (Vasilakou et al., 2013). Meskipun inhibisi selektif SGLT2 lebih diutamakan,
dengan harapan untuk menghindari efek samping pada traktus gastrointestinal
seperti diare dan dehidrasi berkaitan dengan inhibisi SGLT1, inhibitor ganda
SGLT1 dan SGLT2 masih dalam penelitian (Nai et
al., 2018).
INHIBITOR
SGLT2 DAN BERAT BADAN
Menurunkan
berat badan dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan memberikan kontrol
glikemia yang lebih baik, dan demikian menjadi pertimbangan penting dalam
tatalaksana diabetes mellitus (Inzucchi et
al., 2012). Sedikit penurunan berat badan dapat memperbaiki kontrol
glikemia secara signifikan dan penurunan faktor risiko penyakit kardiovaskuler
(Pi-Sunyer, 2008). Beberapa manfaat metformin dikaitkan dengan penurunan berat
badan setelah pemberian tatalaksana dengan medikamentosa tersebut. Sebaliknya,
obat seperti sulfonylurea dan thiazolidinedione dapat menyebabkan peningkatan
berat badan pada penderita diabetes (Bennet et
al., 2011). Penelitian menggunakan kontrol plasebo menunjukkan bahwa inhibitor
SGLT2 seperti dapagliflozin, canagliflozin, empagliflozin, dan ipragliflozin semuanya
menurunkan berat badan ketika digunakan sebagai monoterapi atau terapi tambahan.
Meskipun hilangnya cairan sebagai akibat dari inhibisi SGLT2 mungkin berkaitan
dengan penurunan berat badan, studi dengan dual
energy X-ray absorptiometry menunjukkan bahwa 2/3 penurunan berat badan
dengan inhibitor SGLT2 disebabkan karena berkurangnya jaringan lemak (Bolinder et al., 2012).
INHHIBITOR
SGLT2 PADA GAGAL JANTUNG DAN CHRONIC KIDNEY DISEASE
Penelitian
tentang “Luaran Kejadian Kardiovaskuler Uji Klinis Empagliflozin pada Pengeluaran
Kelebihan Glukosa Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2” menunjukkan bahwa
tatalaksana dengan inhibitor SGLT2 empagliflozin mengurangi kejadian mayor
kardiovaskuler, mortalitas, dan hospitalisasi pada subyek dengan diabetes
mellitus tipe 2 yang memiliki risiko tinggi kardiovaskuler (Zinman et al., 2015). Penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa tatalaksana dengan empagliflozin memperlambat progresi dari
penyakit ginjal (Wanner et al., 2016)
pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2. Manfaat ini tidak terbatas hanya
pada empagliflozin tetapi juga merupakan efek kelas obat yang telah
dikonfirmasi dengan program “Canagliflozin Cardiovascular Assessment Study”, di
mana tatalaksana dengan canagliflozin menunjukkan penurunan yang signifikan
dari mortalitas kardiovaskuler, infark miokard non-fatal, stroke non-fatal, dan
penurunan risiko hospitalisasi 33% akibat gagal jantung dibandingkan dengan
pada kelompok kontrol atau plasebo (Lee, 2017). Selain itu, dengan adanya
manfaat terhadap jantung dan renal pada inhibitor SGLT2 yang teramati segera
setelah inisiasi terapi, Packer et al.
mengajukan hipotesis bahwa inhibisi kanal sodium-hidrogen (Na+/H+
antiport), yang mana mengalami peningkatan aktivitas pada pasien dengan gagal jantung,
mungkin merupakan mekanisme dari inhibitor SGLT2 yang mencegah kejadian gagal
jantung (Packer et al., 2017).
KEAMANAN
INHIBITOR SGLT2
Meskipun
inhibitor SGLT2 telah dilaporkan sebagai obat yang relatif aman, infeksi
saluran kemih dan ketoasidosis diabetik pada penggunaan inhibitor SGLT2 telah
menjadi perhatian (Peters et al.,
2015). Pada tahun 2015, FDA mengumumkan peringatan mengenali ketoasidosis
diabetik berkaitan dengan penggunaan inhibitor SGLT2. Selain itu, inhibitor SGLT2
mengalami penurunan efikasi pada pasien dengan Chronic Kidney Disease karena
obat tersebut bergantung pada fungsi renal dalam aktivitas farmakologisnya (Nai
et al., 2018).
INHIBITOR
SGLT2 DARI BAHAN ALAM
Sebagai
prototipe inhibitor SGLT2, florizin pertama kali diidentifikasi pada kulit akar
pohon apel, serta tidak mengejutkan bahwa beberapa molekul yang berasal dari
tumbuhan mungkin menunjukkan aktivitas inhibisi dari SGLT2 dan memiliki potensi
dalam pengembangan obat baru atau template obat (Choi, 2016). Banyak dari
molekul tersebut dikenal sebagai glikosida flavonoid dan alkaloid yang telah
dikarakterisasi mengenai sifat anti-oksidannya. Molekul tersebut termasuk
flavonoid kurainon, sophoraflavanone G, kushenol K, dan kushenol N yang
diisolasi dari Sophora flavescens (Sato
et al., 2007), gneyulins A dan B,
trimer stilbene, serta noidesol A dan B, dihydroflavonol-C-glikosida dari kulit
Gnetum gnemonoides (Shimokawa et al., 2010), alstiphyllanine E-H,
picraline, dan alkaloid tipe ajmaline dari Alstonia
macrophylla (Arai et al,. 2010),
serta luteolin, apigenin, 6-C-pentosyl-8-C-hexosyl apigenin, dan
6-C-hexosyl-8-C-pentosyl luteolin yang diisolasi dari Cynodon dactylon (Annapurna et
al., 2013).
Penelitian pada C-glikosida fenugreek menunjukkan bahwa molekul tersebut
berikatan dengan SGLT2 menggunakan energi docking yang rendah. Dengan metode in
silico receptor docking, sebanyak 2 dari 6 C-glikosida fenugreek yaitu orientin
dan vitexin, berikatan kuat dengan reseptor SGLT2 dan menunjukkan energi docking
reseptor yang rendah (CDock-E) sebanding dengan “glifozin” yang telah diterima
secara klinis (gambar 3A dan B).
![]() | |
|
KESIMPULAN
Kadar
gula darah yang tidak terkontrol dengan baik menjadi perhatian pada pasien
dengan diabetes karena berkaitan dengan peningkatan risiko komplikasi
mikrovaskuler dan makrovaskuler yang menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di Amerika Serikat dan seluruh dunia. Hal ini telah mendorong
penemuan strategi baru untuk mengontrol secara optimal kadar gula darah dalam
manajemen pasien dengan diabetes mellitus. Reseptor SGLT2 telah mendapat cukup
perhatian selama beberapa tahun terakhir sebagai target dalam tatalaksana
mengontrol kadar gula darah. Sampai saat ini, beberapa inhibitor SGLT2 telah
dikembangkan dan dievaluasi pada uji klinis. Selain meningkatkan kontrol
glikemia agen-agen tersebut juga menunjukkan manfaat dalam menurunkan
mortalitas kardiovaskuler, menunjukkan efek selain daripada yang telah teramati
dalam inhibisi uptake glukosa pada tubulus convolutus proximal. Meskipun dengan
manfaat tersebut, selektifitas terhadap subtipe transporter, efikasi inhibisi
SGLT2, farmakokinetika pada dosis oral, dan keamanan obat memerlukan
identifikasi, karakterisasi, dan evaluasi molekul baru sebagai inhibitor SGLT2.
Skrining flavonoid yang banyak tersedia di alam yaitu C-glikosida mungkin dapat
memberikan inhibitor SGLT2 baru yang dapat digunakan sebagai terapi dalam mengontrol
kadar gula darah dan mencegah komplikasi diabetes (Nai et al., 2018).
Edit: 30 Mei 2020
Referensi:
- Annapurna, H. V., Apoorva, B., Ravichandran, N., Arun, K. P., Brindha, P., Swaminathan, S., Vijayalakshmi, M., Nagarajan, A. 2013. Isolation and in silico evaluation of antidiabetic molecules of Cynodon dactylon (L.). J Mol Graph Model. 39:87–97.
- Arai, H., Hirasawa, Y., Rahman, A., Kusumawati, I., Zaini, N. C., Sato, S., Aoyama, C., Takeo, J., Morita, H. 2010. Alstiphyllanines E-H, picraline and ajmaline-type alkaloids from Alstonia macrophylla inhibiting sodium glucose cotransporter. Bioorg Med Chem. 18:2152–8.
- Boyle, J. P., Thompson, T. J., Gregg, E. W., Barker, L. E., Williamson, D. F. 2010. Projection of the year 2050 burden of diabetes in the US adult population: dynamic modeling of incidence, mortality, and prediabetes prevalence. Popul Health Metr. 8:29.
- Cefalu, W. T., Riddle, M. C. 2015. SGLT2 inhibitors: the latest “new kids on the block”! Diabetes Care. 38:352–4.
- Centers for Disease Control and Prevention. https://www.cdc.gov/diabetes/pdfs/data/statistics/ national-diabetes-statistics-report.pdf, diakses 26 Mei 2020.
- Choi, C. I. 2016. Sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2) inhibitors from natural products: discovery of next-generation antihyperglycemic agents. Molecules. 21.
- Dall, T. M., Yang, W., Halder, P., Pang, B., Massoudi, M., Wintfeld, N., Semilla, A. P., Franz, J., Hogan, P. F. 2014. The economic burden of elevated blood glucose levels in 2012: diagnosed and undiagnosed diabetes, gestational diabetes mellitus, and prediabetes. Diabetes Care. 37:3172–9.
- Ehrenkranz, J. R., Lewis, N. G., Kahn, C. R., Roth, J. 2005. Phlorizin: a review. Diabetes Metab Res Rev. 21:31–8.
- Inzucchi, S. E., Bergenstal, R. M., Buse, J. B., Diamant, M., Ferrannini, E., Nauck, M., Peters, A. L., Tsapas, A., Wender, R., Matthews, D. R. 2012. Management of hyperglycemia in type 2 diabetes: a patient-centered approach: position statement of the American Diabetes Association (ADA) and the European Association for the Study of Diabetes (EASD). Diabetes Care. 35: 1364–79.
- Lee, S. 2017. Update on SGLT2 inhibitors-new data released at the American Diabetes Association. Crit Pathw Cardiol. 16:93–5.
- Nai, A. S., Bagchi, D., Lehmann, T. E., Nair, S. 2018. Nutritional and Therapeutic Interventions for Diabetes and Metabolic Syndrome. 2th edition. Renal Sodium-Glucose Transporter-2 Inhibitor as Antidiabetic Agents. Academic Press: Cambridge.
- National Institute of Health. https://www.niddk.nih.gov/health-information/ health-statistics/overweight-obesity, diakses 26 Mei 2020.
- Packer, M., Anker, S. D., Butler, J., Filippatos, G., Zannad, F. 2017. Effects of sodium-glucose cotransporter 2 inhibitors for the treatment of patients with heart failure: proposal of a novel mechanism of action. JAMA Cardiol. 2:1025–29.
- Peters, A. L., Buschur, E. O., Buse, J. B., Cohan, P., Diner, J. C., Hirsch, I. B. 2015. Euglycemic diabetic ketoacidosis: a potential complication of treatment with sodium-glucose cotransporter 2 inhibition. Diabetes Care. 38:1687–93.
- Pi-Sunyer, F. X. 2008. The effects of pharmacologic agents for type 2 diabetes mellitus on body weight. Postgrad Med. 120:5–17.
- Sato, S., Takeo, J., Aoyama, C., Kawahara, H. 2007. Na+-glucose cotransporter (SGLT) inhibitory flavonoids from the roots of Sophora flavescens. Bioorg Med Chem. 15:3445–9.
- Shimokawa, Y., Akao, Y., Hirasawa, Y., Awang, K., Hadi, A. H., Sato, S., Aoyama, C., Takeo, J., Shiro, M., Morita, H. 2010. Gneyulins A and B, stilbene trimers, and noidesols A and B, dihydroflavonol-C-glucosides, from the bark of Gnetum gnemonoides. J Nat Prod. 73:763–7.
- Wanner, C., Inzucchi, S. E., Lachin, J. M., Fitchett, D., von Eynatten, M., Mattheus, M., Johansen, O. E., Woerle, H. J., Broedl, U. C., Zinman, B. 2016. Empagliflozin and progression of kidney disease in type 2 diabetes. N Engl J Med. 375:323–34.
- World Health Organization. http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/204871/1 /9789241565257_eng.pdf, diakses 26 Mei 2020.
- Wright, E. M., Loo, D. D., Hirayama, B. A. 2011. Biology of human sodium glucose transporters. Physiol Rev. 91:733–94.
- Zhang, L., Feng, Y., List, J., Kasichayanula, S., Pfister, M. 2010. Dapagliflozin treatment in patients with different stages of type 2 diabetes mellitus: effects on glycaemic control and body weight. Diabetes Obes Metab. 12:510–6.
- Zinman, B., Wanner, C., Lachin, J. M., Fitchett, D., Bluhmki, E., Hantel, S., Mattheus, M., Devins, T., Johansen, O. E., Woerle, H. J., Broedl, U. C., Inzucchi, S. E. 2015. Empagliflozin, cardiovascular outcomes, and mortality in type 2 diabetes. N Engl J Med. 373:2117–28.
No comments
Tulis komentar Anda...