Header Ads

Header ADS

Inhibitor Renal Sodium-Glucose Transporter-2 (SGLT2) sebagai Tatalaksana Diabetes

     Diabetes merupakan penyakit metabolik kronik di mana tubuh tidak memproduksi atau menggunakan dengan adekuat hormone insulin, sehingga menyebabkan disregulasi dari glukosa. Berdasarkan laporan dari Centers for Disease Control and Prevention di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 30,3 juta orang yang setara dengan 9,4% populasi di Amerika memiliki penyakit diabetes pada tahun 2015 (CDC, 2017). Sekitar 7,2 juta orang yang mengalami diabetes tidak terlaporkan, sehingga menyebabkan penanganan yang tidak optimal. Diabetes juga merupakan salah satu penyebab mortalitas utama pada tahun 2012, yaitu sekitar 1,5 juta kematian secara global (WHO, 2017).

     Diabetes tipe I merupakan kondisi di mana terjadi kerusakan sel β pankreas yang disebabkan karena penyakit autoimun. Dengan demikian, pada penyakit diabetes tipe I terjadi penurunan produksi hormone insulin, dan membutuhkan administrasi eksogen dari hormon insulin. Sebaliknya, pada diabetes tipe II tubuh mengalami resistensi insulin dan/atau tidak memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup. Diabetes mellitus tipe II merupakan jenis diabetes yang lebih sering terjadi yaitu sekitar 90 – 95% dari populasi yang mengalami diabetes di Amerika Serikat. Etiologi dari diabetes tipe II adalah multifaktor disertai faktor risiko seperti faktor genetik, pengaruh lingkungan, asupan nutrisi, aktivitas fisik, atau kombinasi dari berbagai faktor tersebut. Kontributor utama yang menyebabkan peningkatan prevalensi diabetes adalah epidemi obesitas. Di Amerika Serikat, sekitar 2/3 populasi dewasa mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, dan obesitas pada anak-anak juga dalam tren yang meningkat (NIH, 2020).

     Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Atherosklerosis merupakan komplikasi mayor dari diabetes mellitus, yang dapat menyebabkan penyakit jantung, gangguan sirkulasi, dan stroke, yang merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas di negara maju. Dengan demikian, diabetes dapat dikategorikan sebagai faktor risiko independen untuk gagal jantung atau heart failure. Retinopati diabetik, yang mempengaruhi sekitar sepertiga dari populasi penderita diabetes berumur 40 tahun atau lebih, merupakan penyebab utama dari kebutaan di Amerika Serikat. Diabetes juga merupakan faktor risiko mayor untuk nefropati dan end stage renal disease (ESRD), yang menyumbang sekitar 44% gagal ginjal yang baru terdiagnosis. Diabetes yang tidak terkontrol juga merupakan faktor predisposisi vaskulopati, gangguan penyembuhan luka, dan neuropati, yang berkontribusi pada lebih dari 60% amputasi non traumatik anggota gerak bawah (Nair et al., 2018).

     Diabetes dan komplikasinya mencerminkan beban ekonomi yang tinggi bagi masyarakat. Perkiraan biaya total dalam penanganan pasien yang terdiagnosa diabetes pada tahun 2012 sekitar 245 milyar dolar AS atau sekitar Rp 3.605,54 triliun (Dall et al., 2014). Hal ini belum disertai dengan estimasi biaya tatalaksana komplikasi dan penurunan produktivitas di tempat kerja. Meskipun biaya yang besar dalam tatalaksana diabetes dan komplikasinya, serta dengan adanya pengobatan yang lebih baru untuk diabetes, presentasi populasi yang didiagnosis dengan diabetes terus meningkat dan proyeksi pada tahun 2050 sekitar 1 dari 3 orang dewasa mengalami diabetes di Amerika Serikat. Identifikasi dan penemuan strategi baru penting dalam tatalaksana diabetes (Boyle et al., 2010).


RENAL SODIUM-GLUCOSE CO-TRANSPORTER

     Renal sodium-glucose cotransporter-2 (SGTL2) berperan dalam 90% reabsorpsi glukosa dari tubulus renalis, sedangkan SGLT-1 berperan dalam 10% sisanya (Wright et al., 2011). Transporter SGLT-2 terletak pada sisi luminal (brush border) dari segmen awal tubulus convolutes proximal nefron. SGLT1 dan 2 berperan dalam kotransport 1 molekul sodium (natrium) untuk setiap 1 molekul glukosa yang direabsorpsi. Transpor diatur oleh transpor aktif sekunder, disertai dengan aksi pompa primer sodium-potasium ATP-ase yang melapisi sisi basolateral dari nefron, sehingga menjaga graiden elektrokimiawi natrium antara cairan tubular dan ruang interstisial dengan memompa keluar 3 ion natrium dan memasukkan 1 ion kalium (gambar 1).

Gambar 1. Aksi dari SGLT1 dan SGLT2. SGLT 1 ditemukan pada brush border intestinal dan meningkatkan uptake glukosa dari traktus gastrointestinal. SGLT2 terdapat pada brush border dari segmen S1 tubulus convolutes proximal. Kedua transporter tersebut berperan dalam kotransport natrium, dan gradien elektrokimia dijaga oleh pompa Na+/K+ ATPase pada sisi basolateral. GLUT2 basolateral berperan dalam transpor glukosa seluler ke dalam darah melalui transpor pasif. GLUT2, glucose transporter-2, SGLT-2, sodium-glucose cotransporter-2.


      Glukosa diabsorpsi ke dalam sel tubulus konvolutus proximal kemudian ditransport ke gradien konsentrasi yang lebih rendah pada sistem sirkulasi oleh glucose transporter-2 (GLUT-2) yang terletak pada permukaan basolateral. Berperan dalam transport aktif, transport glukosa sepanjang tubulus convolutus proximal dapat mengabsorpsi dengan kecepatan 375 mg/menit. Dikaitkan dengan kadar gula darah normal, kapasitas fungsional dari transporter SGLT2 mampu untuk menjaga glukosa darah pada 100 mg/dL. Pada pasien dengan diabetes, kapasitas fungsional dari SGLT2 mengalami kelebihan beban, sehingga menyebabkan glikosuria. Dengan demikian, transporter SGLT2 berperan dalam menjaga homeostasis glukosa secara keseluruhan bersama dengan faktor lainnya seperti insulin dan glukagon. Sementara itu, SGLT1 terletak predominan pada traktus intestinalis (transporter SGLT1 juga terdapat pada bagian distal dari nefron tetapi dalam jumlah yang sedikit) dan bertanggung jawab dalam absorpsi glukosa dan galaktosa dari traktus intestinalis dengan mekanisme yang sama (Nai et al., 2018).


INHIBITOR SGLT2 SEBAGAI TERAPI PADA DIABETES MELLITUS

     SGLT2 merupakan strategi tatalaksana terbaru dalam menurunkan kadar glukosa plasma dan toksisitas glukosa. Penghambatan SGLT2 efektif menurunkan kadar glukosa darah serta memberikan manfaat lain, seperti penurunan berat badan, insidensi hipoglikemia yang rendah, dan penurunan tekanan darah. Kelebihan dari mekanisme SGLT2 tersebut adalah independen dari fungsi sel β atau resistensi insulin, dengan demikian agen tersebut dapat digunakan sebagai tatalaksana diabetes tipe 2 dalam berbagai stadium penyakit (Zhang et al., 2010). Risiko hipoglikemia minimal dengan dipertahankannya fungsi SGLT1 selama pemberian tatalaksana inhibitor SGLT2, sehingga fungsi absorpsi glukosa pada traktus intestinalis tetap dipertahankan dan melindungi dari terjadinya hipoglikemia. Selain itu, SGLT2 juga diatur oleh kadar glukosa darah; kadar glukosa yang tinggi menyebabkan upregulasi SGLT2 dan kadar gula yang rendah menyebabkan downregulasi SGLT2 yang mencegah potensi episode hipoglikemia (Nai et al., 2018).

     Pada awal tahun 1800-an, florizin, suatu senyawa β-D-glukosida, diisolasi dari kulit akar pohon apel, terbukti memiliki sifat glikosuria (Ehrenkranz et al., 2005). Secara kimiawi, florizin merupakan senyawa glukosida, yang memiliki bagian glukosa dan sebuah aglikon di mana dua karbon aromatic dihubungkan oleh alkyl spacer. Meskipun demikian, florizin dan senyawa O-glikosida lainnya gagal sebagai terapi yang efektif untuk diabetes karena degradasi yang cepat oleh β-glukosidase di dalam traktus gastrointestinalis. Selain itu, florizin lebih poten dalam menginhibisi SGLT1 dibandingkan dengan SGLT2, dan inhibisi SGLT1 dapat menyebabkan efek samping seperti pada sistem gastrointestinal seperti diare dan dehidrasi (Wright et al., 2011). Florizin juga menginhibisi GLUT1 yang dapat mengganggu uptake glukosa pada berbagai macam sel dan jaringan. Kekurangan ini telah mendorong pengembangan C-glikosida heteroaromatik di mana bagian gula berikatan dengan aglikon melalui ikatan karbon-karbon. C-glikosida lebih stabil secara metabolik dibandingkan dengan O-glikosida karena resistensi terhadap hidrolisis oleh enzim di saluran gastrointestinal dan secara cepat diabsorpsi dalam bentuk yang belum berubah (gambar 2).

Gambar 2. Struktur kimiawi florizin (O-glikosida) dan inhibitor SGLT2 yang telah disetujui penggunannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat (C-glikosida) yaitu dapagliflozin, canagliflozin, dan empagliflozin.


     Inhibitor SGLT2 dengan struktur kimia yang berbeda telah dikarakterisasi dan berada dalam berbagai tahap uji klinis. Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat telah menyetujui penggunaan C-glikosida canagliflozin (Invokana), dapagliflozin (Farxiga), dan empagliflozin (Jardiance) sebagai inhibitor SGLT2 terbaru untuk tatalaksana diabetes mellitus (Cefalu & Riddle, 2015). Obat tersebut menunjukkan kemampuannya dalam menurunkan kadar hemoglobin A1c (HbA1c) sebesar 0,8% (tergantung dari kadar HbA1c awal) dan dapat digunakan sebagai terapi tunggal maupun kombinasi dengan obat antidiabetik lainnya seperti metformin, sulfonylurea, glitazone, dan insulin (Vasilakou et al., 2013). Meskipun inhibisi selektif SGLT2 lebih diutamakan, dengan harapan untuk menghindari efek samping pada traktus gastrointestinal seperti diare dan dehidrasi berkaitan dengan inhibisi SGLT1, inhibitor ganda SGLT1 dan SGLT2 masih dalam penelitian (Nai et al., 2018).


INHIBITOR SGLT2 DAN BERAT BADAN

     Menurunkan berat badan dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan memberikan kontrol glikemia yang lebih baik, dan demikian menjadi pertimbangan penting dalam tatalaksana diabetes mellitus (Inzucchi et al., 2012). Sedikit penurunan berat badan dapat memperbaiki kontrol glikemia secara signifikan dan penurunan faktor risiko penyakit kardiovaskuler (Pi-Sunyer, 2008). Beberapa manfaat metformin dikaitkan dengan penurunan berat badan setelah pemberian tatalaksana dengan medikamentosa tersebut. Sebaliknya, obat seperti sulfonylurea dan thiazolidinedione dapat menyebabkan peningkatan berat badan pada penderita diabetes (Bennet et al., 2011). Penelitian menggunakan kontrol plasebo menunjukkan bahwa inhibitor SGLT2 seperti dapagliflozin, canagliflozin, empagliflozin, dan ipragliflozin semuanya menurunkan berat badan ketika digunakan sebagai monoterapi atau terapi tambahan. Meskipun hilangnya cairan sebagai akibat dari inhibisi SGLT2 mungkin berkaitan dengan penurunan berat badan, studi dengan dual energy X-ray absorptiometry menunjukkan bahwa 2/3 penurunan berat badan dengan inhibitor SGLT2 disebabkan karena berkurangnya jaringan lemak (Bolinder et al., 2012).


INHHIBITOR SGLT2 PADA GAGAL JANTUNG DAN CHRONIC KIDNEY DISEASE

     Penelitian tentang “Luaran Kejadian Kardiovaskuler Uji Klinis Empagliflozin pada Pengeluaran Kelebihan Glukosa Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2” menunjukkan bahwa tatalaksana dengan inhibitor SGLT2 empagliflozin mengurangi kejadian mayor kardiovaskuler, mortalitas, dan hospitalisasi pada subyek dengan diabetes mellitus tipe 2 yang memiliki risiko tinggi kardiovaskuler (Zinman et al., 2015). Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa tatalaksana dengan empagliflozin memperlambat progresi dari penyakit ginjal (Wanner et al., 2016) pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2. Manfaat ini tidak terbatas hanya pada empagliflozin tetapi juga merupakan efek kelas obat yang telah dikonfirmasi dengan program “Canagliflozin Cardiovascular Assessment Study”, di mana tatalaksana dengan canagliflozin menunjukkan penurunan yang signifikan dari mortalitas kardiovaskuler, infark miokard non-fatal, stroke non-fatal, dan penurunan risiko hospitalisasi 33% akibat gagal jantung dibandingkan dengan pada kelompok kontrol atau plasebo (Lee, 2017). Selain itu, dengan adanya manfaat terhadap jantung dan renal pada inhibitor SGLT2 yang teramati segera setelah inisiasi terapi, Packer et al. mengajukan hipotesis bahwa inhibisi kanal sodium-hidrogen (Na+/H+ antiport), yang mana mengalami peningkatan aktivitas pada pasien dengan gagal jantung, mungkin merupakan mekanisme dari inhibitor SGLT2 yang mencegah kejadian gagal jantung (Packer et al., 2017).


KEAMANAN INHIBITOR SGLT2

     Meskipun inhibitor SGLT2 telah dilaporkan sebagai obat yang relatif aman, infeksi saluran kemih dan ketoasidosis diabetik pada penggunaan inhibitor SGLT2 telah menjadi perhatian (Peters et al., 2015). Pada tahun 2015, FDA mengumumkan peringatan mengenali ketoasidosis diabetik berkaitan dengan penggunaan inhibitor SGLT2. Selain itu, inhibitor SGLT2 mengalami penurunan efikasi pada pasien dengan Chronic Kidney Disease karena obat tersebut bergantung pada fungsi renal dalam aktivitas farmakologisnya (Nai et al., 2018).


INHIBITOR SGLT2 DARI BAHAN ALAM

     Sebagai prototipe inhibitor SGLT2, florizin pertama kali diidentifikasi pada kulit akar pohon apel, serta tidak mengejutkan bahwa beberapa molekul yang berasal dari tumbuhan mungkin menunjukkan aktivitas inhibisi dari SGLT2 dan memiliki potensi dalam pengembangan obat baru atau template obat (Choi, 2016). Banyak dari molekul tersebut dikenal sebagai glikosida flavonoid dan alkaloid yang telah dikarakterisasi mengenai sifat anti-oksidannya. Molekul tersebut termasuk flavonoid kurainon, sophoraflavanone G, kushenol K, dan kushenol N yang diisolasi dari Sophora flavescens (Sato et al., 2007), gneyulins A dan B, trimer stilbene, serta noidesol A dan B, dihydroflavonol-C-glikosida dari kulit Gnetum gnemonoides (Shimokawa et al., 2010), alstiphyllanine E-H, picraline, dan alkaloid tipe ajmaline dari Alstonia macrophylla (Arai et al,. 2010), serta luteolin, apigenin, 6-C-pentosyl-8-C-hexosyl apigenin, dan 6-C-hexosyl-8-C-pentosyl luteolin yang diisolasi dari Cynodon dactylon (Annapurna et al., 2013).

     Penelitian pada C-glikosida fenugreek menunjukkan bahwa molekul tersebut berikatan dengan SGLT2 menggunakan energi docking yang rendah. Dengan metode in silico receptor docking, sebanyak 2 dari 6 C-glikosida fenugreek yaitu orientin dan vitexin, berikatan kuat dengan reseptor SGLT2 dan menunjukkan energi docking reseptor yang rendah (CDock-E) sebanding dengan “glifozin” yang telah diterima secara klinis (gambar 3A dan B).

Gambar 3. (A) C-glikosida fenugreek berikatan dengan reseptor SGLT2 secara in silico. Docking dari dapagliflozin (Farxiga) (kiri) dan orientin (kanan) dengan reseptor SGLT2. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Discovery Studio 3.1 (Accelrys, San Diego, CA). Struktur SGLT2 berasal dari Protein Data Bank (PDB). Pencarian kavitas dilakukan pada protein yang telah disiapkan untuk mengindentifikasi semua kemungkinan lokasi pada struktur protein yang dapat mengakomodasi ligan. Sebanyak 7 kavitas yang mungkin telah diidentifikasi. Ligan berikatan pada semua kavitas dengan CDOCKER. Hanya 1 dari 7 kavitas yang ditunjukkan di sini. Tabel pada sisi kanan menunjukkan energi docking untuk tofogliflozin, inhibitor SGLT2 yang telah diterima FDA (dapagliflozin dan canagliflozin), dan C-glikosida fenugreek mayor (vitexin, orientin, dan vicenin). (B) Struktur kimia dari C-glikosida fenugreek dan inhibitor SGLT2 yang digunakan secara klinis pada penelitian docking molekuler.


KESIMPULAN

     Kadar gula darah yang tidak terkontrol dengan baik menjadi perhatian pada pasien dengan diabetes karena berkaitan dengan peningkatan risiko komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler yang menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat dan seluruh dunia. Hal ini telah mendorong penemuan strategi baru untuk mengontrol secara optimal kadar gula darah dalam manajemen pasien dengan diabetes mellitus. Reseptor SGLT2 telah mendapat cukup perhatian selama beberapa tahun terakhir sebagai target dalam tatalaksana mengontrol kadar gula darah. Sampai saat ini, beberapa inhibitor SGLT2 telah dikembangkan dan dievaluasi pada uji klinis. Selain meningkatkan kontrol glikemia agen-agen tersebut juga menunjukkan manfaat dalam menurunkan mortalitas kardiovaskuler, menunjukkan efek selain daripada yang telah teramati dalam inhibisi uptake glukosa pada tubulus convolutus proximal. Meskipun dengan manfaat tersebut, selektifitas terhadap subtipe transporter, efikasi inhibisi SGLT2, farmakokinetika pada dosis oral, dan keamanan obat memerlukan identifikasi, karakterisasi, dan evaluasi molekul baru sebagai inhibitor SGLT2. Skrining flavonoid yang banyak tersedia di alam yaitu C-glikosida mungkin dapat memberikan inhibitor SGLT2 baru yang dapat digunakan sebagai terapi dalam mengontrol kadar gula darah dan mencegah komplikasi diabetes (Nai et al., 2018).


Edit: 30 Mei 2020


Referensi:
  • Annapurna, H. V., Apoorva, B., Ravichandran, N., Arun, K. P., Brindha, P., Swaminathan, S., Vijayalakshmi, M., Nagarajan, A. 2013. Isolation and in silico evaluation of antidiabetic molecules of Cynodon dactylon (L.). J Mol Graph Model. 39:87–97.
  • Arai, H., Hirasawa, Y., Rahman, A., Kusumawati, I., Zaini, N. C., Sato, S., Aoyama, C., Takeo, J., Morita, H. 2010. Alstiphyllanines E-H, picraline and ajmaline-type alkaloids from Alstonia macrophylla inhibiting sodium glucose cotransporter. Bioorg Med Chem. 18:2152–8.
  • Boyle, J. P., Thompson, T. J., Gregg, E. W., Barker, L. E., Williamson, D. F. 2010. Projection of the year 2050 burden of diabetes in the US adult population: dynamic modeling of incidence, mortality, and prediabetes prevalence. Popul Health Metr. 8:29.
  • Cefalu, W. T., Riddle, M. C. 2015. SGLT2 inhibitors: the latest “new kids on the block”! Diabetes Care. 38:352–4.
  • Centers for Disease Control and Prevention. https://www.cdc.gov/diabetes/pdfs/data/statistics/ national-diabetes-statistics-report.pdf, diakses 26 Mei 2020.
  • Choi, C. I. 2016. Sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2) inhibitors from natural products: discovery of next-generation antihyperglycemic agents. Molecules. 21.
  • Dall, T. M., Yang, W., Halder, P., Pang, B., Massoudi, M., Wintfeld, N., Semilla, A. P., Franz, J., Hogan, P. F. 2014. The economic burden of elevated blood glucose levels in 2012: diagnosed and undiagnosed diabetes, gestational diabetes mellitus, and prediabetes. Diabetes Care. 37:3172–9.
  • Ehrenkranz, J. R., Lewis, N. G., Kahn, C. R., Roth, J. 2005. Phlorizin: a review. Diabetes Metab Res Rev. 21:31–8.
  • Inzucchi, S. E., Bergenstal, R. M., Buse, J. B., Diamant, M., Ferrannini, E., Nauck, M., Peters, A. L., Tsapas, A., Wender, R., Matthews, D. R. 2012. Management of hyperglycemia in type 2 diabetes: a patient-centered approach: position statement of the American Diabetes Association (ADA) and the European Association for the Study of Diabetes (EASD). Diabetes Care. 35: 1364–79.
  • Lee, S. 2017. Update on SGLT2 inhibitors-new data released at the American Diabetes Association. Crit Pathw Cardiol. 16:93–5.
  • Nai, A. S., Bagchi, D., Lehmann, T. E., Nair, S. 2018. Nutritional and Therapeutic Interventions for Diabetes and Metabolic Syndrome. 2th edition. Renal Sodium-Glucose Transporter-2 Inhibitor as Antidiabetic Agents. Academic Press: Cambridge.
  • National Institute of Health. https://www.niddk.nih.gov/health-information/ health-statistics/overweight-obesity, diakses 26 Mei 2020.
  • Packer, M., Anker, S. D., Butler, J., Filippatos, G., Zannad, F. 2017. Effects of sodium-glucose cotransporter 2 inhibitors for the treatment of patients with heart failure: proposal of a novel mechanism of action. JAMA Cardiol. 2:1025–29.
  • Peters, A. L., Buschur, E. O., Buse, J. B., Cohan, P., Diner, J. C., Hirsch, I. B. 2015. Euglycemic diabetic ketoacidosis: a potential complication of treatment with sodium-glucose cotransporter 2 inhibition. Diabetes Care. 38:1687–93.
  • Pi-Sunyer, F. X. 2008. The effects of pharmacologic agents for type 2 diabetes mellitus on body weight. Postgrad Med. 120:5–17.
  • Sato, S., Takeo, J., Aoyama, C., Kawahara, H. 2007. Na+-glucose cotransporter (SGLT) inhibitory flavonoids from the roots of Sophora flavescens. Bioorg Med Chem. 15:3445–9.
  • Shimokawa, Y., Akao, Y., Hirasawa, Y., Awang, K., Hadi, A. H., Sato, S., Aoyama, C., Takeo, J., Shiro, M., Morita, H. 2010. Gneyulins A and B, stilbene trimers, and noidesols A and B, dihydroflavonol-C-glucosides, from the bark of Gnetum gnemonoides. J Nat Prod. 73:763–7.
  • Wanner, C., Inzucchi, S. E., Lachin, J. M., Fitchett, D., von Eynatten, M., Mattheus, M., Johansen, O. E., Woerle, H. J., Broedl, U. C., Zinman, B. 2016. Empagliflozin and progression of kidney disease in type 2 diabetes. N Engl J Med. 375:323–34.
  • World Health Organization. http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/204871/1 /9789241565257_eng.pdf, diakses 26 Mei 2020.
  • Wright, E. M., Loo, D. D., Hirayama, B. A. 2011. Biology of human sodium glucose transporters. Physiol Rev. 91:733–94.
  • Zhang, L., Feng, Y., List, J., Kasichayanula, S., Pfister, M. 2010. Dapagliflozin treatment in patients with different stages of type 2 diabetes mellitus: effects on glycaemic control and body weight. Diabetes Obes Metab. 12:510–6.
  • Zinman, B., Wanner, C., Lachin, J. M., Fitchett, D., Bluhmki, E., Hantel, S., Mattheus, M., Devins, T., Johansen, O. E., Woerle, H. J., Broedl, U. C., Inzucchi, S. E. 2015. Empagliflozin, cardiovascular outcomes, and mortality in type 2 diabetes. N Engl J Med. 373:2117–28.

No comments

Tulis komentar Anda...

Powered by Blogger.